PR Usai Pilpres Korea Selatan 2022: Mempersatukan Masyarakat yang Terbelah

PR  Usai Pilpres Korea Selatan 2022:  Mempersatukan Masyarakat yang Terbelah
Image credit: rumahpemilu.org

9 Mei 2022, Korea Selatan menyelanggarakan Pemilu Presiden-nya yang ke-20. Pemilu ini mengantarkan Yoon Suk-yeol, seorang kandidat dari People’s Power Party (PPP) ke tampuk kekuasaan.  Yoon memenangkan pemilu dengan selisih kemenangan yang tipis, 247 suara atau 0,99 persen. Dengan kata lain, ia memenangkan kurang dari 50 persen suara untuk menjadi Presiden Korea Selatan berikutnya.

PPP pada dasarnya adalah sebuah partai konservatif. Yoon adalah seorang mantan jaksa agung Dengan latar belakang ini, Yoon menjadi simbol perubahan dalam politik yang ada, terutama bagi orang-orang yang kecewa dengan partai yang berkuasa, Partai Demokrat. Ada dukungan yang tinggi di Korea Selatan untuk perubahan pemerintahan dalam pemilu, dan Yoon menjadi alternatif utama bagi orang-orang yang ingin mengubah pemerintahan.

“Segera ia menjadi sangat populer karena ia memiliki citra jaksa berprinsip yang menentang kekuasaan politik sepanjang masa jabatannya. Misalnya, ia menyelidiki skandal politik yang sangat rumit pada pemerintahan Park Chung-hee government,” Ki-young Shin, dosen ilmu politik dan studi gender, Universitas Ochanomizu Jeoang, menjelaskan.

Menurut Ki-young Shin, Yoon dan partainya telah menggunakan politik identitas dan krisis ekonomi pada harga perumahan dan terbatasnya kesempatan kerja profesional untuk meraup suara. Sepanjang pemilu, terjadi berbagai sandal dan fitnah, dan masyarakat sangat terbelah.

” Di bawah pemerintahan Moon, kegagalan terbesar adalah harga rumah, sehingga kaum muda menjadi begitu frustrasi karena mereka tak dapat bermimpi membeli rumahnya sendiri. Juga kegagalan lainnya adalah sempitnya lapangan kerja yang layak. Semakin banyak kompetisi bagi kam muda yang berpendidikan tinggi. Namun, tak banyak pekerjaan yang berkualitas bagi mereka,” tandasnya.

 

Perpecahan politik di Korea Selatan

Sejak lama, perpecahan politik di Korea Selatan telah terjadi antara ideologi konservatif dengan progresif, dan perbedaan di kawasan barat dan timur negara itu. Kawasan timur biasanya sangat konservatif dan mendukung partai-partai konservatif, sedangkan kawasan barat cenderung progresif dan mereka mendukung partai-partai progresif.

Perpecahan juga terjadi berdasarkan generasi dan gender dalam Pemilu Presiden 2022. Generasi yang lebih muda di bawah usia 50-an telah jauh dari pendukung partai konservatif. Sebaliknya, generasi muda biasanya mendukung partai progresif. Adalah tantangan bagi partai konservatif untuk mengumpulkan dukungan dari generasi muda.

Sebagai strateginya, PPP menggunakan pembedaan gender.  PPP memanfaatkan sentimen anti-feminis di kalangan kaum muda laki-laki berusia 20-30 tahunan.  Mereka membuat komentar-komentar yang bermasalah, seperti tidak ada lagi diskriminasi gender struktural di Korea Selatan, dan bahwa angggaran responsif-gender seharusnya dikurangi dan sebagai gantinya digunakan untuk pertahanan nasional.

“Yoon memiliki banyak janji pemilu, termasuk penghapusan kementerian kesetaraan gender dan keluarga, dan untuk memperkuat hukuman atas tuduhan palsu atas tindakan kekerasan dan kejahatan seksual. Kebijakan ini diimbau kepada para pemuda yang telah menentang kebijakan kesetaraan gender dari pemerintah saat ini,” cerita Ki-Young Shin.

Kampanye anti-feminisme ini menyebabkan perempuan muda merasa bahwa mereka adalah tunawisma secara politik, tanpa partai atau otoritas publik yang mendukung mereka. Untuk mendapatkan dukungan dari perempuan muda, Lee Jae-myung, seorang kandidat presiden dari Partai Demokrat, merekrut seorang aktivis perempuan muda yang berpengaruh ke dalam kampanyenya. Perekrutan dia, dan pidatonya untuk mendukung Lee Jae-myung sangat efisien pada menit terakhir. Hasil pemilihan menunjukkan bahwa 58 persen wanita berusia 20-an memilih Lee Jae-myung.

“Pola suara para perempuan muda menandai peristiwa penting, bahwa mereka secara jelas menyatakan kemauan politik kolektif mereka dalam pemilu. Perempuan muda yang telah mendukung partai kiri-tengah atau progresif jauh lebih banyak daripada pria dan generasi lainnya” pungkasnya.

Di sisi lain, pada masa kampanye, PPP memilih ketua partai seorang pemuda berusia 36 tahun. Representasi muda bertujuan untuk menggalang dukungan dari kaum muda. PPP juga memanfaatkan kemarahan generasi muda pada harga rumah dan lowongan pekerjaan yang terbatas. Faktanya, PPP tidak mengusulkan kebijakan untuk secara fundamental memperbaiki kenyataan, tetapi Yoon mendapat dukungan suara dari 58,7 persen pria di usia 20-an.

Secara keseluruhan, perempuan di bawah usia 50 tahun memiliki tingkat partisipasi pemilih yang lebih tinggi daripada laki-laki dalam kelompok usia yang sama. Partisipasi pemilih generasi muda (20-an ke bawah) lebih rendah dibandingkan pemilu 5 tahun lalu. Kini, partisipasi pemilih muda 65,3 persen, turun drastis 10 persen.

 

Tantangan bagi pemerintahan baru

Pemerintahan Yoon Suk yeol dan PPP akan menghadapi setidaknya tiga tantangan. Pertama adalah mempersatukan rakyat yang terbelah. Politik identitas yang dignakan dalam pemilu telah membelah masyarakat. Laki-laki muda membenci perempuan. Ujaran kebencian tentang feminisme berseliweran di media sosial. Terbelahnya generasi muda dan masyarakat berdasarkan wilayah harus dipersatukan.

“Tidaklah jelas bagaimana pemerintahan yang baru akan memenangkan kerja sama itu mengingat lebih besarnya partai oposisi dan kaum muda. Oleh karena itu, Yoon dan PPP tampaknya lebih terobsesi dengan kebijakan politik yang memajukan kawasan daripada mempersatukan rakyat.

Kedua, permasalahan gender dan generasi. Yoon menegaskan kembali janjinya untuk menghapuskan kementerian kesetaraan gender dan keluarga. Dia secara sembrono mengklaim bahwa kementerian telah memenuhi peran historisnya, meskipun indeks gender Korea Selatan menunjukkan bahwa kenyataannya jauh dari kesetaraan gender.

Ketiga, adalah kurangnya keterwakilan kaum muda, khususnya perempuan muda. Dalam komite kepresidenan hanya empat perempuan yang ditunjuk dari 24 anggota. Tingkat anggota parlemen perempuan di majelis nasional hanya menghasilkan 19 persen. Ki-young Shin menuduh bahwa situasi Korea Selatan akan kembali ke jenis politik jaringan suara lama.

“Saya prihatin bahwa politik yang mengandalkan jaringan orang-orang lama yang sekarang kita lihat akan semakin memperdalam pengucilan perempuan dan kaum muda, serta kurangnya keterwakilan politik mereka. Saya meyakini, jika suara perempuan dan minoritas tidak didengar dan diwakili, baik masyarakat yang benar-benar bersatu maupun demokrasi yang inklusif dan sepenuhnya tidaklah mungkin akan terjadi,” tambahnya.

 

Situasi Korea Selatan dan tren populisme global

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati menyampaikan dalam diskusi bahwa secara global, terdapat penurunan nilai demokrasi, merujuk pada Economist Intelligence Unit 2019 dan indeks Global State of Democracy International IDEA. Salah satu faktornya adalah dampak populisme yang terjadi seiring meningkatnya gerakan populis. Populisme mengeksploitasi ketidakpuasan warga negara dan menyebabkan polarisasi. 

“Polarisasi berbahaya bagi demokrasi. Polarisasi dalam masyarakat terjadi dengan mengangkat isu-isu yang dekat dengan emosi masyarakat. Hal ini menjadi isu yang sangat kritis bagi demokrasi karena munculnya polarisasi dapat mengancam demokrasi, karena dapat mereduksi nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi bisa dikompromikan demi kepentingan kelompok populis,” kata Ninis.

Ia kemudian menjelaskan bahwa terdapat dua sisi polarisasi. Pertama, populisme mengingatkan elit akan kelemahan demokrasi perwakilan. Demokrasi perlu dikritik karena pemerintah yang dipilih dari suara mayoritas terkadang melupakan minoritas, dan terkadang minoritas merasa tidak cukup terwakili dalam pemerintahan. Populisme juga menjadi tanda tidak berfungsinya beberapa organ dalam sistem politik.

“Hal ini bisa menjadi cermin demokrasi agar para elit tidak lupa menyerap sebanyak mungkin kepentingan rakyat,” tandasnya.

Di sisi lain, populisme bisa menjadi patologi demokrasi, karena cenderung memanfaatkan emosi elektoral sesaat. Bisa pula menjadi eksklusif, intoleran, rasis, mendelegitimasi proses pemilu, dan membuat demokrasi pemilu mundur.

Ninis kemudian mengingatkan tentang hubungan antara politik identitas dan perilaku memilih. Orang dipengaruhi oleh karakter identitas, yang juga dapat mempengaruhi pilihan politik. Misalnya status ekonomi, agama, pekerjaan, usia, dan suku.

“Ada tiga komponen perilaku pemilih secara sosiologis. Pertama, karakteristik sosiologis masyarakat, seperti pendidikan, pekerjaan, jaringan sosial, kelas sosial, dan agama. Pemilih memiliki potensi untuk memilih partai atau calon yang memiliki karakteristik yang sama dengan pemilih. Ini menjadi komoditas dalam pemilihan untuk menggunakan identitas.”

Dalam konteks Indonesia, kata Ninis, media sosial adalah salah satu faktor yang mempolarisasi masyarakat. Dalam Pemilu 2014, politik identitas ditujukan untuk mengubah pendapat dan preferensi masyarakat dalam pemilu, dan hal ini tersebar secara masif di media sosial.  terdapat hoaks dan disinformasi yang digunakan untuk mengusik pemilih.

“Oleh karena itu, apa yang terjadi di Pemilu Presiden Korea Selatan, menurut saya, hal itu juga merupakan tren global. Banyak negara telah memiliki kebijakan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, tetapi kemajuannya sangat lambat. International IDEA mengatakan bahwa jika tidak ada kebijakan progresif, maka kita masih membutuhkan lebih dari 40 tahun untuk mendapatkan kesetaraan gender dalam politik. Jadi, merupakan tantangan bagi Asia untuk memastikan pemilu tidak digunakan sebagai alat untuk mempolarisasi masyarakat karena dampaknya sangat merugikan. Di Indonesia, polarisasi Pemilu 2019 masih terjadi sampai sekarang, dan dua tahun lagi kita akan menggelar pemilu lagi,” tutupnya. []

Artikel ini diterjemahkan oleh Catherine Natalia

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Amalia Salabi is a researcher at Perludem and electionhouse.org organizer. Amalia has an interest in women's issues, alternative politics, Islamic politics, election technology, and digital campaigns. Amalia's work can be read at Perludem.org. She loves read and watching movies.
Lihat Semua Post