Daftar Isi
Selasa (12/4), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan dukungan program Asia-Pacific Regional Support for Elections and Political Transitions (RESPECT), bersama Dewan Pers Timor Leste dan Meta menyelenggarakan workshop “Combating Election Disinformation in Timor-Leste”. Kegiatan ini dilakukan selama dua hari secara hybrid luring dan daring.
“Tujuan dari workshop ini adalah untuk melihat isu apa saja yang muncul dalam disinformasi yang ada di Facebook selama pemilu presiden di Timor Leste, termasuk apa yang sudah pemerintah Timor Leste lakukan selama ini untuk melawan hoaks, dan apa langkah kita ke depan,” kata Direktur Eksekutif Dewan Pers Timor Leste, Rigoberto Monteiro, saat kegiatan berlangsung.
Dalam kegiatan hari pertama, terdapat delapan narasumber yang memberikan pengayaan kepada jurnalis dan mahasiswa Timor Leste. Expedito Loro Diaz Ximenes, Pj Ketua Dewan Pers Timor Leste, dan Zevonia Vieira, Ketua Timor Lorosae Journalist Association atau AJTL misalnya, memberikan gambaran mengenai situasi media kovensional, penggunaan media sosial oleh politisi, dan penyebaran disinformasi dan malinformasi selama Pemilu Presiden 2022 di Timor Leste.
“Dari observasi AJTL, hate speech dan malinformasi sudah terjadi sebelum pemilu. Ini penyakit setiap lima tahun. Para politisi membuat propaganda politik, memanfaatkan disinformasi untuk mendapatkan dukungan dari pemilih,” tandas Zevonia.
Tak hanya itu, Zevonia juga menyampaikan adanya kekerasan politik terhadap kandidat perempuan, dan pelintiran ujaran kebencian terhadap politisi Partai FRETILIN keturunan Arab. Ironisnya, masih banyak media online yang tidak memegang prinsip inklusivitas dan peace journalism, sehingga memberitakan konflik yang semakin mempertegang konflik di masyarakat.
“Yang menjadi korban malinformasi adalah kelompok rentan dan marginal, terutama karena internet di Timor Leste sangat mahal. Kalau bandingkan harga internet se-ASEAN, Timor Leste yang paling mahal. Karena internet mahal, mereka tidak bebas mencari informasi yang kredibel,” jelas Zevonia.
Zevonia pun menyebutkan adanya fenomena reproduksi konten lama, serta munculnya media online baru jelang dan selama pemilu.
Narasumber dari Perludem, yakni Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, menyampaikan bahwa fenomena disinformasi di Timor Leste turut terjadi di Indonesia. Dari riset “Gangguan terhadap Hak Memilih: Fenomena dan Upaya Penanggulangan” (2021) yang dilakukan Perludem, disinformasi di Pemilu 2019 banyak mengenai teknis dan regulasi pemilu, menyerang penyelenggara pemilu, serta mengintimidasi pemilih disabilitas mental.
“Disinformasi di Pemilu 2019, tidak hanya menyerang peserta pemilu, tetapi juga menyerang teknis, regulasi, dan lembaga penyelenggara pemilu, bahkan pemilih. Disinformasi mengenai cara memilih misalnya, itu kami temukan di media sosial, dan berpotensi menyebabkan pemilih salah dalam memberikan suara. Jadi, ada banyak disinformasi yang bisa dikategorikan sebagai voter suppression, atau mengganggu hak memilih,” urai Ninis.
Strategi Meta berantas disinformasi, misinformasi, dan malinformasi
Kepala Kebijakan Misinformasi Asia Pacific Meta, Alice Budisatrijo mengumumkan bahwa Meta memiliki tiga strategi dalam melawan misinformasi. Pertama, remove atau menghapus, diberlakukan untuk konten yang mengandung perundungan, ujaran kebencian, kekerasan atau anjuran melakukan kekerasan, misinformasi mengenai kesehatan, deep fake, serta voter suppression atau misinformasi yang bisa mendorong orang untuk tidak memilih atau menipu orang dari informasi pemilu.
“Kalau orang posting tentang tanggal, lokasi, waktu dan bagaimana mencoblos yang salah, jadi mau menipu orang tentang informasi pemilu, itu kami hapus. Juga, kalau ada yang bilang seorang kandidat mundur, padahal tidak, itu kami hapus juga. Kemudian, instruksi untuk curang di pemilu, misal bilang bisa loh milih sampai tiga kali, atau bilang kalau ikut pemilu bisa ketularan Covid, itu juga kita hapus. Dan kalau ada konten yang mengajurkan orang untuk menjaga pemilu tapi secara kekerasan, itu kita hapus,” urai Alice.
Kedua, reduce atau mengurangi. Konten yang mengandung misinformasi namun tidak membahayakan akan dikurangi distribusinya. Ketiga, inform atau menginformasikan, yaitu fitur yang memberitahu pengguna yang melihat konten misinformasi di platform.
“Jadi, tidak semua misinformasi kami hapus, karena sebagai perusahaan, kami seharusnya tidak menjadi satu-satunya penentu kebenaran. Itu sebabnya kami bekerjasama dengan pakar pemeriksa fakta, independen, yang tidak menjadi bagian dari Meta. Dan juga, tidak semua misinformasi itu benar atau salah, tetapi ada yang rancu, ada juga yang misleading,” ujar Alice.
Alice juga menginformasi bahwa terdapat beberapa fitur yang ditujukan untuk membantu pengguna mengkonsumsi informasi, diantaranya fitur label untuk memberi tahu pengguna bahwa konten yang dilihatnya mengandung informasi yang salah, fitur notifikasi pemilih yang memposting konten yang mengandung disinformasi, context button berisi informasi penulis dan pemublikasi artikel, dan old news notification atau peringatan kepada pengguna yang membagikan konten berumur lebih dari tiga bulan.
Saat ini, Meta telah bekerjasama dengan mitra pengecek fakta di seluruh dunia. Untuk menyamakan standar pengecek fakta, Meta menyediakan sertifikasi. Meta juga menunjuk para pakar untuk menjadi Facebook Oversight Board, sebuah lembaga independen. Salah satu anggotanya ialah Endy Bayuni, jurnalis senior The Jakarta Post. Endy turut menjadi salah satu narasumber workshop dengan materi moderasi konten.
Dalam paparannya, Endy menjelaskan mengenai tahap-tahap moderasi konten, mekanisme banding untuk konten yang dihapus oleh Facebook, juga keterbatasan moderasi konten untuk konteks Timor Leste.
“Ada kendala bahasa untuk moderasi konten di Timos Leste, karena bahasa Tetum belum menjadi bahasa yang dimoderasi oleh Facebook. Itu jadi masalah besar. Jadi, bisa gunakan bahasa Indonesia atau bahasa Portugal agar konten bisa dimoderasi, selagi mendorong agar bahasa Tetum diakomodasi oleh Meta,” ungkap Endy.
Ia mendorong agar masyarakat aktif berpartisipasi dalam moderasi konten melalui website https://oversightboard.com/ dengan memberikan komentar dan saran mengenai kasus-kasus yang sedang ditangani. Selama dua tahun, Facebook Oversight Board telah menangani 22 kasus, dan 16 di antaranya menyatakan Meta melakukan moderasi konten secara tidak tepat.
Digital literasi sangat diperlukan
Semua pihak menyatakan bahwa peningkatan literasi digital amat diperlukan untuk memberantas misinformasi di masyarakat. Ketika masyarakat dibekali kemampuan berpikir kritis dan identifikasi disinformasi, masyarakat tak akan mudah mempercayai suatu informasi, mengkonsumsi berita dari situs media terpercaya, dan tak akan membagi konten yang mencurigakan.
“Pemerintah bisa jadikan ini kurikulum sehingga masyarakat sedini mungkin bisa lebih kritis, dan punya daya tahan terhadap misinformasi dan disinformasi,” pungkas Alice.
Di Timor Leste, Menteri Muda urusan Komunikasi Sosial, Mericio Juvinal dos Reis 'Akara menjelaskan bahwa pihaknya sedang mengembangkan platform Good News on Timor Leste dan platform untuk melokalisir akun-akun palsu dan media yang kerap memproduksi disinformasi sebagai upaya literasi digital. Pemerintah Timor Leste anti memblok situs media tak teregistrasi di Dewan Pers.
“Kita memilih mempersiapkan masyarakat untuk memiliki pengetahuan, skill, dan kekritisan. Kita juga belum punya undang-undang untuk take down konten-konten yang tidak mendidik,” tukas Mericio.
Senior Factchecker dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Adi Syafitrah membagikan tips untuk men-debunk disinformasi berbentuk foto. Masyarakat dapat menggunakan Google reverse image search, Google Lens, Yandex, atau Bing untuk mendapatkan informasi mengenai waktu pertama kali sebuah foto diunggah ke internet.
“Kalau verifikasi video, ada tiga cara. Pertama, menggunakan keyword yang terdengar di video. Misal, keyword yang digunakan adalah santri pingsan imunisasi. Google akan menampilkan video yang sama yang pertama kali diposting. Kedua, skrinsyut atau potongan gambar pada video, kirim ke Yandex. Akan muncul gambar serupa. Ketiga, memasang extension InVID,” jelas Adi. []
AMALIA SALABI