“Honest Candidate”, Kisah Sulitnya Jadi Perempuan Politisi di Korsel

“Honest Candidate”, Kisah Sulitnya Jadi Perempuan Politisi di Korsel
Image credit: rumahpemilu.org

Sebagai penggemar film, saya menonton satu film setiap hari kerja, dan bisa sampai tiga film jika weekend. Di suatu malam selepas kerja, saya mencari film komedi di Klik Film. Ketemu! Honest Candidate dengan Ra Mi-ran di posternya! I LOVE Ra Mi-ran sejak menamatkan series Reply 1988 yang hits di Indonesia. No doubt! Ra Mi-ran adalah jaminan sebuah film akan lucu.

Film ini bercerita mengenai Joo Sang-sook, diperankan oleh Ra Mi-ran, yang sedang melakukan kampanye Pemilu Anggota Legislatif untuk daerah pemilihan (dapil) Kota Hyuntan. Sebagai salah satu kandidat yang dipilih untuk kursi dari daerah pemilihan (dapil) berwakil tunggal, kontestasi yang luar biasa tentu akan dihadapi Jo. Berjibaku adalah jalan ninja Jo, dan berbohong menjadi kunci kesuksesan Jo bertahan selama tiga periode.

Jo terpilih pertama kali karena aksinya melawan perusahaan asuransi yang menerapkan kebijakan curang kepada rakyat miskin. Namun, pada periode kedua dan ketiga, Jo berubah menjadi politisi jahat yang banyak berbohong.

Suatu ketika, sang nenek, Kim Ok-hee, berdoa agar Jo berhenti berbohong. Doa ini menjungkirbalikkan citra Jo yang peduli, santun, dan sederhana. Namun, bukan seorang politisi namanya jika tidak bisa memanfaatkan situasi. Jo kini membuat slogan sebagai “Politisi paling jujur di negeri ini”.

 

Sulit terpilih, Jo berbohong untuk disukai pemilih

“Perempuan di Korea Selatan tidak banyak terpilih melalui sistem single member district”, kata

Yesola Kweon dan Josh M. Ryan dalam artikel jurnal mereka yang menarik. Sistem pemilu mixed member system (MMP) yang diterapkan di Korea, dengan hanya 47 kursi yang dipilih dengan sistem proportional representative (PR) dan 253 dipilih dalam sistem daerah pemilih (dapil) berwakil tunggal atau single member district (SMD), membuat perempuan tidak banyak dicalonkan, dan jika ada kandidat yang bertarung di dapil tersebut, laki-laki lebih sering dipilih.

Hanya ada 57 anggota parlemen perempuan terpilih dari total 300 kursi parlemen (unikameral atau satu kamar), atau 19 persen, dari hasil Pemilu Legislatif 2020. Di berbagai media online, kita bisa temukan laporan bahwa sekalipun Pemilu Legislatif 15 April 2020 merupakan pemilu pertama setelah Gerakan #MeToo di Korea, tetapi kandidat perempuan kerap menjadi korban dari ujaran kebencian, kekerasan politik, dan diskriminasi.

Fenomena itu diperlihatkan di film Honest Candidate. Tampil sebagai perempuan yang “terlalu tangguh” tidak disukai masyarakat. “Citramu terlalu maskulin”, kata Park, asisten pribadi Jo, di awal film, saat Tim kampanye Jo menonton video kampanye Jo. Di adegan lainnya, dengan kutukan tak bisa berbohong, Jo tampil dengan statement-statement vulgar. Jo yang kesal melontarkan kalimat, “Andai saja aku laki-laki, aku tidak akan diremehkan.”

Tampil sebagai perempuan saja tidak cukup, sebagaimana politisi laki-laki yang tidak perlu berpura-pura hidup sederhana atau ditertawakan karena tidak cukup kreatif, atau membuat statement yang menggelikan. Perempuan politisi dituntut untuk berani menghadang segala angkara murka, tapi di satu waktu yang sama, masyarakat “mengajarinya” agar dia tetap tampil sebagai “perempuan yang patuh”. Jo tidak punya masalah domestik. Suaminya mendukung karir politiknya karena sang suami bergantung secara ekonomi pada Jo.

Lantaran politisi perempuan tidak mendapatkan keistimewaan berupa “pemakluman-pemakluman”, Jo harus melakukan banyak kebohongan dan gimmick politik. Ia harus memerankan Jo yang sederhana: memakai sepatu usang dan tinggal di flat kecil berukuran 65 meter, serta berpura-pura ramah dan peduli pada semua orang. Bahkan, Jo berpura-pura bahwa neneknya, Ok-hee telah meninggal.

Kim Ok-hee merupakan anggota Dewan untuk dapil Kota Hyuntan sebelum Jo terjun ke politik. ”Setelah Ok-hee meninggal”, Jo mendirikan Yayasan Ok-hee yang memberikan beasiswa kepada pelajar Korea. Dengan kata lain, Jo mewarisi kursi dapil neneknya (sebuah privilege), dan membangun karir politik dengan memanfaatkan citra  neneknya sebagai politisi senior yang telah berkontribusi bagi warga Kota Hyuntan.

 

Performa perempuan anggota legislatif akseleratif berkat satu dapil daftar PR

Sebagaimana sudah disebutkan di awal, sulitnya menjadi perempuan anggota legislatif di Korea Selatan disebabkan oleh masyarakat yang masih konservatif dan sebagai dampak dari sistem pemilu (lebih banyak calon yang dipilih dari distrik berwakil tunggal). Padahal, kehadiran perempuan merupakan representasi politik, baik representasi simbolik, deskriptif, maupun substantif. Perempuan memiliki preferensi dasar yang lebih besar untuk mengejar representasi substantif perempuan karena latar belakang kesamaan pengalaman sosial. Telah banyak penelitian empiris yang menunjukkan bahwa legislator perempuan di negara industri maju dan negara berkembang mensponsori lebih banyak undang-undang terkait perempuan, anak, dan kelompok marjinal.

Kasus Korea Selatan, merujuk hasil riset Yesola Kweon dan Josh M. Ryan menunjukkan bahwa perempuan yang terpilih dari dapil PR (hanya ada satu dapil, yakni dapil nasional) punya akselerasi lebih baik dalam memperjuangkan undang-undang mengenai perempuan dan kelompok marjinal. Karena tidak dihadapkan oleh pemilih di dapil lokal secara langsung (dengan berbagai isi kepala pemilih), legislator perempuan yang terpilih dari daftar PR lebih bebas mengusulkan undang-undang terkait perempuan dan kelompok marjinal. Bahkan, fenomena ini tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga legislator laki-laki dari daftar PR.

“…dibandingkan dengan PR, sistem SMD menciptakan lebih sedikit insentif bagi pembuat undang-undang untuk fokus pada isu-isu penting bagi anggota kelompok yang secara tradisional kurang terwakili.”

Kweon dan Ryan juga menemukan fakta bahwa legislator laki-laki yang terpilih melalui SMD merupakan legislator yang paling kecil kemungkinannya mengusulkan atau meloloskan undang-undang yang berorientasi pada perempuan. Sistem pemilu membentuk perilaku tersebut. SMD menghasilkan lebih sering legislator laki-laki, dan  karena pemilunya candidate-centered, hal ini memberikan akuntabilitas yang sangat besar kepada kandidat. Ketika legislator dari sistem PR cenderung fokus pada RUU yang menargetkan kelompok individu yang lebih luas, sementara politisi SMD membuat undang-undang yang lebih khusus dalam kepentingan lokal.

Dampak sistemik tersebut, ditambah faktor pola diskriminasi yang mengakar di Korea Selatan, turut membuat perempuan yang terpilih dari sistem SMD kurang berhasil meluluskan RUU. Namun, hal itu bisa ditengarai dengan hadirnya legislator perempuan, juga laki-laki, yang terpilih melalui sistem PR.

Sistem pemilu dan diskriminasi (juga standar ganda) masyarakat terhadap kandidat perempuan dan laki-laki tentu perlu penyikapan berbeda. Pada sistem pemilu, kebijakan afirmasi sementara bisa diterapkan. Korea Selatan sebenarnya telah menerapkan. Untuk dapil SMD, partai diharuskan untuk memastikan setidaknya mencalonkan 30 persen perempuan dari total kandidat yang dicalonkan. Namun, tidak ada sanksi bagi partai yang melanggar ketentuan ini. Sanksi hanya ada (daftar partai yang diajukan ditolak dan pendaftaran partai dibatalkan) bagi partai yang tidak mencalonkan minimal 50 persen perempuan dari jumlah kandidat yang dicalonkan.

Untuk diskriminasi masyarakat terhadap perempuan, solusi jangka panjang yang paling masuk akal. Salah satunya melalui pendidikan. Pendidikan merupakan produk politik, kurikulum dan materinya ditentukan oleh negara. Merubah cara pandang terhadap perempuan membutuhkan jihad pendidikan yang inklusif, dan campur tangan negara. Negara, sebagaimana selama ini telah dibuktikan dari kasus berbagai negara termasuk Indonesia, powerfull membentuk kebudayaan baru di masyarakat. Tanpa negara yang berpihak dan berkomitmen untuk mendorong keadilan dan inklusif gender, perempuan, tak terkecuali Jo yang memiliki privilege berupa nenek yang berpengaruh dan suami yang mendukung, akan sulit tampil sebagai politisi yang genuine. Apalagi, gelombang 'penghapusan sistem kuota perempuan' diserukan bahkan oleh politisi laki-laki. Ruang publik yang aman bisa menjamin lebih banyak perempuan tampil dan punya kiprah baik di politik. []

AMALIA SALABI

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Amalia Salabi is a researcher at Perludem and electionhouse.org organizer. Amalia has an interest in women's issues, alternative politics, Islamic politics, election technology, and digital campaigns. Amalia's work can be read at Perludem.org. She loves read and watching movies.
Lihat Semua Post