Kekerasan Politik terhadap Perempuan dalam Masyarakat Misognis

Kekerasan Politik terhadap Perempuan dalam Masyarakat Misognis
Image credit: rumahpemilu.org

Kekerasan politik perempuan penting untuk dipahami sebagai bagian dari penegakan hukum dan pencapaian demokrasi adil gender. United Nation dalam “Violence against women in politics” (2014) mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan dalam politik sebagai kekerasan yang terjadi di ranah politik, yang secara khusus menyasar perempuan. Kekerasan digunakan untuk memperkuat struktur tradisional, sosial, dan politik dengan menargetkan pemimpin perempuan yang menentang patriarki dan harapan serta norma sosial yang berlaku.

Kekerasan perempuan tersebut membatasi mobilitas dan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi dalam ranah politik, yang sangat mungkin mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual atau psikologis bagi politisi perempuan. Pemaksaan, juga perampasan kebebasan secara sewenang-wenang dalam kehidupan publik atau pribadi politisi perempuan juga termasuk kategori kekerasan terhadap perempuan dalam politik.

 

Serangan terhadap perempuan di Pilpres Korea 2022

Pemilu Presiden (Pilpres) Korea Selatan 2022 punya catatan kekerasan politik terhadap perempuan. Ini bisa kita ketahui dengan merujuk hashtag #antifeminismebukanlahsuarapemuda dan #kitatidakmemilihmisogini. Dua hashtag ini ramai digunakan oleh kelompok pemilih perempuan yang tergabung dalam Gerakan Shout Out di Korea Selatan. Menurut Twitter, lebih dari 5.500 postingan dengan tagar tersebut dibagikan pada tanggal 6 Januari, sejak pukul 10 malam hingga 1 pagi. Aksi protes di media sosial dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kampanye yang mendiskreditkan gerakan kesetaraan gender di Korea Selatan.

Shout Out sebelumnya, pada 12 Desember 2021, menggelar aksi protes di depan kantor Partai Demokrat Korea dan People's Power Party (PPP) di Yeouido. Dalam protes yang diikuti sekitar 50 perempuan tersebut, organisator Shout Out, Kim Joo-hee mengatakan bahwa para kandidat di Pilpres 2020 tidak menghormati perempuan sebagai pemilih dan warga negara. Kandidat dari Partai Demokrat dan PPP melecehkan feminisme sebagai penyakit mental dan mengabaikan pemilih perempuan. Shout Out menuntut agar calon presiden dari kedua partai menghentikan politik populis berdasarkan antifeminisme.

“Kami tidak dapat menempatkan politisi laki-laki yang mengeksploitasi kebencian terhadap perempuan untuk mengurus urusan negara,” kata salah satu demonstran, sebagaimana dikutip dari hani.co.kr (13/12/2021).

Kandidat di Pilpres juga menyerang kehidupan pribadi para istri kandidat lawan. Bahkan, di suatu kegiatan, salah satu pasangan calon presiden mempertanyakan mengapa kandidat lain tidak memiliki anak dan hanya memelihara hewan.

Kandidat dari PPP, Yoon Seok-youl, mantan jaksa agung, memulai perdebatan mengenai kesetaraan gender dalam kampanye Pilpres. Ia mengajukan proposal untuk menghapus Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga apabila terpilih sebagai presiden¾perdebatan mengenai apakah Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga dipertahankan atau dihapus telah terjadi selama bertahun-tahun. Yoon memanfaatkan hasil survei yang dilakukan oleh empat lembaga survei yang berbasis di Seoul, yakni Embrain Public, KSTAT Research, Korea Research International, dan Hankook Research,  pada Juli 2021, bahwa 48 persen responden mendukung penghapusan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga. Kesetaraan gender dinilai para laki-laki muda sebagai diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan, sebab gender perempuan lebih diutamakan daripada kemampuan.

Pemerintahan Presiden Moon memang memberikan peluang baru kepada perempuan dalam bidang ekonomi. Kebijakan ini banyak tidak disukai oleh masyarakat yang masih didominasi oleh laki-laki. Kompetisi Pilpres yang memperebutkan suara masyarakat dieksploitasi oleh kandidat untuk mendapatkan dukungan mayoritas. Dominasi laki-laki dalam struktur sosial masyarakat Korea menjelma kampanye misogini kandidat yang mengancam ruang partisipasi perempuan dalam bidang ekonomi dan politik. Ironinya lagi, kecenderungan misoginis sebagian masyarakat mendongkrak eletabilitas Yoon dari 34,5 persen menjadi hampir 41 persen dalam waktu satu minggu.

Ketidakhadiran politik inklusif semakin menambah berat perjuangan aktivis perempuan untuk mendorong kesetaraan gender dan partisipasi perempuan dalam berbagai bidang. Serangan politisi terhadap kesetaraan gender menambah panjang daftar serangan terhadap perempuan. Menurut Komnas HAM Korea Selatan, “perempuan” dan “feminis” merupakan dua target paling umum dari ujaran kebencian yang disampaikan di berbagai platform online. Pernah terjadi peristiwa beberapa aktivis laki-laki memaksa universitas membatalkan kuliah seorang perempuan yang mereka tuduh menyebarkan kebencian. Mereka juga pernah mengkritik An San, atlet peraih medali emas tiga kali di Olimpiade Tokyo, atas potongan rambut pendeknya.

Berdasarkan The Global Gender Gap Index 2021 yang dipublikasi oleh World Economy Forum, Korea Selatan berada di urutan 102 dari 156 negara dengan ketimpangan gender tertinggi. Negara ini memiliki kesenjangan upah gender tertinggi di antara negara-negara kaya. Jumlah perempuan anggota parlemen kurang dari seperlima jumlah seluruh anggota parlemen nasional. Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga didirikan pada awal 2001sebagai janji kampanye Presiden Kim Dae-jung. Kementerian bertugas merencanakan kebijakan terkait gender, seperti memperluas partisipasi sosial perempuan, mencegah kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual, serta melindungi korban.

Meskipun Yoon kemudian merekrut seorang feminis terkemuka, Shin Ji-ye, sebagai penasihat kampanye pada Desember 2021, sebuah langkah yang dimaksudkan untuk meredakan kekhawatiran bahwa partainya telah mengasingkan pemilih perempuan, namun kampanye Yoon dan PPP yang mendiskreditkan pemenuhan hak-hak perempuan, dianggap telah memperbesar kebencian terhadap perempuan yang vokal bersuara. Strategi Yoon dan PPP untuk mendongkrak elektabilitas Yoon dan PPP di kalangan pemilih laki-laki muda telah mempertaruhkan progres kesetaraan gender di Korea Selatan.

 

Pelecehan terhadap perempuan praktisi politik di Filipina

Filipina akan mengadakan pemilihan umum untuk lebih dari 18.000 posisi efektif, dari pejabat kota hingga presiden, pada 9 Mei 2022. Terdapat 10 calon presiden dan 9 calon wakil presiden. Leni Robredo, Wakil Presiden Filipina saat ini, maju untuk jabatan presiden. Anak perempuan Presiden Duterte, Sara Duterte, melangkah untuk posisi wakil presiden, berkoalisi dengan capres Ferdinand Marcos Jr., anak mantan dictator Filipina, Ferdinand Marcos.

Tidak mudah berpartisipasi di arena politik Filipina. Pertama, masyarakat Filipina yang patriarkis tidak ramah pada perempuan politisi atau perempuan aktivis. Kedua, sistem pemilu yang diterapkan menyulitkan perempuan untuk terpilih. Filipina menganut sistem pemilu pluralitas mayoritas dengan distrik bercalon tunggal. Karena hanya ada satu calon yang dapat diusulkan oleh partai, partai lebih mengutamakan laki-laki untuk bertarung di daerah pemilihan. Ketiga, politik uang sebagai pilihan strategi politik yang digunakan oleh para calon tak menguntungkan perempuan yang kerap tak memiliki modal ekonomi besar. Kondisi akhir-akhir ini, dengan Presiden Duterte yang misoginis, bahkan pada Januari 2021, ia menyampaikan bahwa perempuan tidak pantas untuk jabatan publik, semakin memberatkan perempuan untuk berpartisipasi di politik.

Penghinaan Presiden Duterte kepada Wakil Presiden Leni Robredo, menjadi kasus besar serangan terhadap perempuan praktisi politik. Tak hanya disebut sebagai pelacur, Leni juga disebut sebagai “otak pendiam”. Serangan oleh Presiden Duterte memancing serangan lain di media sosial terhadap Leni. Tagar #FakeVP dibuat untuk menghina Leni, bersamaan dengan penyebutan kata penipu, pembohong, dan orang bodoh.

Foundations for Media Alternatives, sebuah organisasi media di Filipina, melaporkan bahwa penghinaan terhadap politisi di media sosial memang kerap terjadi. Namun, politisi perempuan mendapatkan serangan online secara tidak proporsional dan sering menjadi sasaran disinformasi.

Serangan juga dialami oleh jurnalis perempuan Editor Eksekutif berita online Rappler, Maria Ressa. Kritisisme terhadap Presiden Duterte membuatnya menerima rata-rata 90 pesan kebencian per jam dan 2000 komentar buruk di Facebook setiap hari. Maria juga telah berulang kali diancam dengan pemerkosaan dan pembunuhan beramai-ramai sejak 2016. Di tengah kampanye disinformasi yang sengaja salah mengutip Ressa, ia bahkan menerima pelecehan dan ancaman baik dari anggota militer aktif maupun mantan anggota militer Filipina.

Jurnalis perempuan lain yang mendapatkan serangan ujaran kebencian di media sosial yakni Pia Ranada dan Inday Varona. Lady Ann Salem dan Frenchie Mae Cumpio bahkan mendekam di penjara karena laporan investigasi mereka.

 

Ancaman demokrasi

Sejarah Barat, juga sejarah di berbagai negara Asia memperlihatkan bahwa demokrasi dan patriarki dapat hidup berdampingan. India, Filipina, Indonesia, dan Korea Selatan merupakan contoh negara demokrasi dengan patriarki yang kuat. Tak jarang ditemukan ekspresi dan perilaku misoginis yang masih ditoleransi oleh masyarakat.

Ahmed T. Kuru dalam bukunya “Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan” (2020) meyakini bahwa kesetaraan gender merupakan hasil dari demokrasi, bukan sebaliknya. Dengan kata lain, tanpa demokrasi, sulit mewujud kesetaraan gender. Demokrasi yang baik akan memberikan ruang ramah dan aman yang setara bagi siapapun.

Dengan demikian, kekerasan terhadap perempuan di dalam politik mesti dilihat sebagai suatu ancaman terhadap demokrasi. Serangan yang menargetkan perempuan dalam politik merupakan tanda institusi sosial, politik, dan ekonomi masih didominasi gender non perempuan. Sebagaimana halnya status quo kekuasaan, sulit menjungkirbalikkan keadaan yang terlalu lama mendominasi perempuan. Cara kita memastikan semua orang dapat berpartisipasi secara aman, itu cara kita menjaga demokrasi dan menghormati kemanusiaan. []

AMALIA SALABI

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Amalia Salabi is a researcher at Perludem and electionhouse.org organizer. Amalia has an interest in women's issues, alternative politics, Islamic politics, election technology, and digital campaigns. Amalia's work can be read at Perludem.org. She loves read and watching movies.
Lihat Semua Post