Hak pilih universal atau hak pilih bagi semua warga negara tanpa memandang gender, kepemilikan properti dan warna kulit bukanlah sesuatu yang diberikan secara sukarela oleh penguasa. Ia diperjuangkan oleh sipil dalam waktu yang lama. Potret sejarah hak pilih itu dirangkum dalam Kelas Virtual Pemilu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Senin (27/4), berikut kontekstualisasi Indonesia.
Hak pilih universal tak datang dengan sendirinya
Kala demokrasi dipraktikkan di masa peradaban Yunani kuno, pandangan umum yang diyakini adalah bahwa pemilih mestilah orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan agar mampu memilih wakil yang berkualitas. Berdasarkan keyakinan itu, hanya laki-laki berproperti yang boleh memilih. Laki-laki tanpa properti dan perempuan tak diberikan hak pilih.
“Yang memilih ini harus diseleksi untuk mencegah hasil pemilihan tidak rusak,” ujar Deputi Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustiyati.
Hak pilih sebagian masih berlaku ketika pemilu diterapkan di Prancis dan Amerika Serikat. Film Iron Jawed Angels (2004) dan Suffragette (2015) dapat dirujuk untuk menyimak perjuangan hak pilih bagi perempuan.
“Perjuangannya sangat panjang, tidak jarang ada pertumpahan darah,” kata Khoirunnisa.
Perjuangan tersebut baru berbuah kemenangan ketika perempuan di negara bagian Tennessee mendapatkan hak pilihnya pada 18 Agustus 1920, yang diikuti kemudian oleh negara bagian lainnya.
Lebih dulu dari Amerika Serikat, hak pilih bagi perempuan diberlakukan sejak 1893 di Selandia Baru, 1907 di Finlandia, dan 1913 di Norwegia. Sementara itu, terlambat dari negara lainnya, negara-negara di Timur Tengah baru pada 2015 memberikan hak pilih untuk perempuan.
“Selandia Baru, yang tadinya jajahan, di tahun 1893 sudah jadi self government country, lepas dari negara penjajahnya. Nah, waktu itu ada anggapan kalau mau meningkatkan kualitas hidup perempuan, perempuan juga harus punya hak pilih dalam pemilu,” jelas Khoirunnisa.
Lebih terlambat dari hak pilih perempuan, hak pilih untuk warga negara kulit hitam baru diberikan pada 1965 di Amerika Serikat, dan 1994 di Afrika Selatan.
Jaminan hak pilih
Jaminan hak pilih universal dijamin oleh Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Pasal 21 ayat (3) menyatakan bahwa kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah, dan kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.
Di Indonesia, jaminan hak pilih universal diatur dalam Pasal 27 dan 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 27 ayat (1) menyatakan, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Jaminan itu bahkan disebutkan pula di dalam Pasal 43 UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ayat (1) Pasal tersebut berbunyi: “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Syarat boleh memilih
Secara umum, setiap negara menerapkan syarat usia memilih. Dari data yang dipublikasi oleh aceproject.com, 208 negara menetapkan minimal usia memilih 18 tahun. 9 negara 16 tahun. 3 negara 17 tahun. 2 negara 19 tahun. 4 negara 20 tahun. 6 negara 21 tahun.
“16 tahun contohnya Argentina, Austria, Nikaragua, Kuba. 17 tahun, contohnya Indonesia, Korea Utara. 18 tahun, ini hampir setengah neg di dunia ya, ada Afghanistan, Austria, Belgia, Jerman. 19 tahun itu Korea Selatan, Malaysia. 20 tahun contohnya Bahrain, Taiwan. 21 tahun di Kuwait, Oman, Singpura,” jabar Khoirunnisa.
Syarat usia memilih di Indonesia semula pada Pemilu 1955 yakni berusia minimal 18 tahun. Syarat 17 tahun kemudian diterapkan sejak Pemilu 1971.
Selain syarat usia, Indonesia juga menerapkan syarat pernah atau telah kawin hingga saat ini, pernah memberlakukan pencabutan hak pilih bagi mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 (G-30S)pada masa Orde Baru, dan tidak memberikan hak pilih bagi orang yang terganggu jiwa atau hilang ingatannya.
Aturan pencabutan hak pilih bagi anggota PKI atau terlibat dalam G-30 tak berlaku lagi sejak keluar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi Pasal 60 UU No.12/2003. MK menyatakan bahwa pencabutan hak pilih bagi orang-orang tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh UUD 1945 dan tak sejalan dengan proses rekonsiliasi.
Begitu pula dengan syarat tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya. Perludem dan Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menggugat aturan tersebut ke MK dan dikabulkan. Gangguan jiwa atau disabilitas mental memiliki tingkat keparahan berbeda dan banyak jenisnya. Beberapa jenis gangguan jiwa bersifat periodic.
“Keterangan dari ahli, bahwa orang yang sedang terganggu jiawanya ada banyak spektrumnya. Mulai dari bipolar, skizofrenia, dan banyak lagi. Gangguan itu juga sifatnya periodik, tidak permanen. Kalau dilakukan treatment dengan baik, sakitnya bisa hilang sehingga bisa memilih. Jadi, sama dengan orang diabet. Kalau dikasih obat penurun kadar insulin, gak kambuh lagi diabetnya,” terang Khoirunnisa.
Perludem bersama Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) juga menguji materi syarat memilih pernah atau telah kawin. Syarat ini dianggap melegalisasi perkawinan anak dan memberikan insentif bagi perkawinan anak. Namun tak seperti sebelumnya, MK berbeda pandang.
“Pendekatan MK adalah UU Kependudukan. MK juga memandang, menikah menandakan kedewasaan seseorang,” pungkasnya.
Peneliti Perludem, Usep Hasan Sadikin menyinggung bahwa sejarah hak pilih universal dan upaya menciptakan inklusivitas hak pilih merupakan hasil perjuangan masyarakat sipil, utamanya perempuan. Gelombang pertama gerakan perempuan menuntut hak pilih universal. Dan konteks Indonesia, gugatan agar pemilih disabilitas mental mendapatkan hak pilih dipimpin oleh perempuan pemimpin organisasi, yakni Yeni Rosa Damayanti, Ketua PJS.
“Gelombang pertama gerakan perempuan itu pemilu banget. Yang mengupayakan pemilu lebih inklusif juga teman-teman perempuan. Hak pilih disabilitas mental, Perludem bareng Rosa Damayanti, pemimpin PJS. Lalu (upaya menghapus syarat kawin) itu juga teman-teman perempuan,” ucap Usep.