Ketentuan di Regulasi Pemilu yang Berpotensi Menghilangkan Hak Pilih

Ketentuan di Regulasi Pemilu yang Berpotensi Menghilangkan Hak Pilih
Image credit: rumahpemilu.org

Ada ketentuan administratif di regulasi pemilu yang jika tidak diterapkan secara hati-hati berpotensi menghilangkan hak warga negara untuk memilih dalam pemilu.

Hak memilih setiap warga negara pada dasarnya telah dilindungi oleh konstitusi. UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) menjamin persamaan hak politik warga negara: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan merujuk pada pasal tersebut, undang-undang pemilu menjamin persamaan hak memilih bagi setiap warga negara. Selama empat kali amandemen, pasal tersebut termasuk pasal yang tetap dipertahankan—tidak ada perubahan.

Meski demikian, undang-undang pemilu tetap harus mengatur ketentuan administratif agar pelayanan terhadap pemenuhan hak memilih bisa berjalan baik. Dalam praktik, ketentuan administratif tersebut—jika tidak diterapkan secara hati-hati—justru berpotensi menghilangkan hak warga negara untuk memilih. Hal ini terutama bisa menimpa kelompok masyarakat rentan yaitu sejumlah warga negara dalam kondisi sosial budaya tertentu yang memiliki tantangan khusus untuk mengakses proses pendaftaran pemilih maupun pemungutan suara.

Ada tiga isu diskriminasi dalam regulasi pemilu yang berpotensi menghilangkan hak pilih seseorang yang mencuat selama Pemilu 2019 maupun Pilkada 2020. Isu tersebut adalah, pertama, kepemilikan KTP elektronik sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih. Kedua, tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih. Ketiga, keterbatasan pengaturan pindah memilih dan metode pemungutan suara khusus.

Kepemilikan KTP elektronik sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih

Salah satu yang seringkali mengganjal seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih yaitu syarat kepemilikan dokumen kependudukan terutama kartu identitas atau KTP elektronik (KTP-el). Untuk terdaftar, seseorang harus memiliki KTP-el. Kelompok-kelompok rentan, seperti masyarakat adat, komunitas transgender, dan komunitas miskin kota, yang kerap kesulitan untuk memiliki KTP-el, tidak bisa dimasukkan dalam daftar pemilih dan karena itu tidak bisa berpartisipasi untuk memilih dalam pemilu.

Ketentuan pasal ini digugat oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, serta beberapa pemohon perorangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak mempunyai KTP-elektronik, dapat menggunakan kartu identitas lainnya yaitu KTP non elektronik, surat keterangan, akta kelahiran, kartu keluarga, buku nikah, atau alat identitas lainnya yang bisa membuktikan yang bersangkutan mempunyai hak memilik seperti kartu pemilih yang diterbitkan oleh KPU.

MK dalam putusan No. 20/PUU-XVII/2019 menyatakan frasa “kartu tanda penduduk elektronik” dalam Pasal 348 ayat (9) UU 7/2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk pula surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil atau instansi lain yang sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu.”

Putusan MK ini belum bisa mengakomodir pemilih yang tidak punya KTP-el. Kepemilikan KTP-el adalah sarat mutlak untuk bisa memilih. Dokumen pengganti yang masih bisa diterima hanyalah surat keterangan telah merekam data kependudukan. Bagi yang tidak punya KTP-el dan belum merekam administrasi kependudukan tidak bisa terdaftar sebagai pemilih. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketentuan ini masih menyimpan potensi bagi seseorang berhak pilih—tetapi secara administrasi kependudukan tidak tercatat atau tidak memiliki KTP-el—kehilangan hak pilihnya.

Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih

Diskriminasi lain yang ada pada regulasi pemilu yang berpotensi menghilangkan hak pilih sesorang adalah ketentuan tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih. Ketentuan ini juga digugat ke MK. MK menyatakan bahwa ketentuan ini bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.”

KPU juga menyiapkan instrumen teknis bahwa selama tidak ada keterangan dari profesional medis yang menyatakan bahwa seseorang sedang mengidap gangguan jiwa, ia berhak didaftar sebagai pemilih. Namun, ketentuan ini kadang ditafsirkan berbeda oleh jajaran penyelenggara pemilu. Pada 2018, rancangan PKPU sempat mengatur terbalik. Penyandang disabilitas mental atau ODGJ diwajibkan membawa surat rekomendasi atau keterangan dari dokter atau keluarga untuk bisa menggunakan hak pilihnya di TPS. Surat tersebut harus menyatakan bahwa ODGJ sedang dalam kondisi sehat. Setelah mendapat protes dari Koalisi Disabilitas, syarat tersebut urung menjadi ketentuan dalam peraturan KPU.

Meski urung dimuat dalam PKPU, di Februari 2019, setelah PKPU ini ditetapkan, masih terdapat jajaran penyelenggara di daerah yang menyatakan ODGJ bisa menggunakan hak suaranya bila mendapatkan surat keterangan dari dokter dan pernyataan dari keluarga. Oleh karena itu, ketentuan ini masih rentan atau berpotensi menghilankan hak pilih seseorang.

Keterbatasan pengaturan pindah memilih dan metode pemungutan suara khusus

Pengaturan pindah memilih dari domisili asal, yang sebetulnya dimaksudkan untuk menjaga hak pilih, ternyata secara administratif masih menyulitkan beberapa kelompok pemilih. Sebagai contoh, pemilih disabilitas psikososial yang sedang mendapatkan perawatan di panti kesehatan jiwa misalnya kesulitan untuk mengurus formulir pindah memilih tanpa fasilitasi dari penyelenggara pemilu atau pihak panti. Hal ini juga dialami oleh tahanan dan terpidana yang sedang menjalani masa hukuman di penjara.

Hak pilih pemilih pindahan ini semestinya dapat diakomodasi apabila terdapat metode pemungutan suara alternatif selain mencoblos di TPS. Metode pemungutan suara khusus (special voting arrangements) menurut International IDEA diperlukan untuk memperluas kesempatan bagi pemilih untuk memberikan suaranya dan dengan demikian memfasilitasi prinsip hak pilih universal. Pengaturan metode pemungutan suara memungkinkan pemilih untuk memberikan suara dengan cara alternatif selain datang secara langsung ke TPS. Pengaturan ini biasanya melayani kategori pemilih khusus, seperti orang-orang dengan keterbatasan mobilitas (misalnya warga negara lanjut usia di dalam fasilitas medis; tahanan di lembaga pemasyarakatan; atau petugas pemungutan suara yang bekerja di daerah pemilihan yang bukan asalnya) atau mereka yang tidak berada di daerah pemilihan tempatnya terdaftar pada hari pemilu (misalnya karena mereka tinggal di luar negeri) (International IDEA, 2021).

Pilihan metode pemungutan suara yang beragam inilah yang penting untuk diatur di dalam UU Pemilu agar ada fasilitasi maksimal terhadap hak pilih warga negara dengan beragam kondisi khusus.

 

MAHARDDHIKA & NURUL AMALIA SALABI

Kami memetakan bentuk-bentuk voter suppression atau gangguan terhadap hak memilih di Pemilu Indonesia. Tulisan ini adalah tulisan kedua dari seri tersebut. Simak tulisan-tulisan pada seri ini:

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Amalia Salabi is a researcher at Perludem and electionhouse.org organizer. Amalia has an interest in women's issues, alternative politics, Islamic politics, election technology, and digital campaigns. Amalia's work can be read at Perludem.org. She loves read and watching movies.
Lihat Semua Post