Peluang dan Tantangan Keterwakilan Politik Pemuda

Image credit: rumahpemilu.org

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat, 52% dari total suara pada pemilu mendatang merupakan suara pemuda. Tapi, perwakilan pemuda di DPR 2019-2024 hanya 10% dari total anggota DPR (575). Laporan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tentang kepercayaan pemuda terhadap lembaga-lembaga demokrasi mengalami penurunan, dari 68,5% (2018) menjadi 63,8% (2022).

“Harusnya hal macam itu diimbangi dengan jumlah anak muda yang menjadi calon legislatif. Namun yang terjadi memang partisipasi sudah eksklusif secara sistem,” ungkap Wasisto Raharjo Jati, Ilmuwan Politik BRIN dalam diskusi “Youth Participation in Indonesia Formal Politics” di Erasmus Huis, Jakarta (20/09).

Wasisto menerangkan, perlu membedakan klaster besar pemuda berdasarkan privilege ekonomi dan pendidikan. Karena menurutnya, kedua hal tersebut menentukan partisipasi pemuda dalam politik formal. Partai-partai harusnya mempunyai political will, karena partisipasi itu berbasis partai.

“Fungsi meritokrasi dalam partai harus dijalankan, karena itulah yang menyebabkan partisipasi tidak egaliter,” paparnya.

CO-Initiator Bijak Memilih, Abigail Limuria berpendapat, sikap apatis pemuda terhadap politik elektoral terjadi karena adanya kesenjangan pengetahuan atas informasi. Pemuda sebenarnya peduli terhadap isu-isu publik namun banyak yang sakit hati karena politik tidak dapat memberi solusi atau mengubahnya.

“Nah maka perlu menyajikan informasi dengan mudah, dengan platform yang gampang di navigasi, semua dikumpulin dalam satu website. Dan semakin banyak yang terpapar, semakin banyak yang sadar kalau mau menyelesaikan masalah publik tertentu, bisa berpartisipasi dengan partai yang mendukung isu tersebut. Semuanya lengkap ada di website,” Ujar Abigail, CO-Initiator Bijak Memilih. 

Caleg Muda Partai Buruh, Elza Yulianti mengatakan, dengan terlibat aktif pada politik elektoral menjadi kendaraan efektif untuk memperjuangkan masalah-masalah pemuda. Ia mengaku, karena banyaknya undang-undang yang disahkan tanpa adanya ruang demokratis bagi publik. Elza merujuk pada pengesahan UU KPK, revisi KUHP, revisi UU Minerba, revisi UU MK dan Omnibus Law Cipta Kerja. Menurutnya, karena itu harus ada partai yang lahir dari gerakan yang dekat dengan isu-isu kerakyatan.

“Kalau kita pasif dan nggak melek dengan politik, kita tidak akan berubah,” tuturnya. []

AJID FUAD MUZAKI