Sinergi Politik Pemuda dan Perempuan

Sinergi Politik Pemuda dan Perempuan
Image credit: rumahpemilu.org

Hampir pada setiap pemilu, ada aspirasi yang kuat dari dua kelompok identitas warga negara yaitu, pemuda dan perempuan. Dari pemuda, ada kegelisahan politik bahwa kelompok ini hanya dijadikan objek suara oleh peserta pemilu yang didominasi kelompok tua. Dari perempuan, cita keterwakilan perempuan minimal 30% di parlemen terus mempertemukan asa dan upaya.

Kelompok pemuda dan perempuan penting menyadari untuk saling membutuhkan. Sinergi keduanya bisa menjadi pencapaian pemerintahan yang lebih representative. Kelompok pemuda yang terhubung dengan kelompok perempuan akan mempunyai jumlah yang lebih signifikan. Sinergi menyerta agenda politiknya harus dihubungkan pada partai politik, calon, dan daerah pemilihan.

Sinergi politik perempuan dan pemuda adalah upaya persenyawaan dua identitas warga dalam mencapai keberdayaan bernegara untuk cita keadilan. Perempuan dan pemuda sebagai identitas bisa saling bekerjasama dengan saling menyadari persamaannya. Berdasar kausal, sangat beralasan karena keduanya ada dalam keadaan yang marginal dan terdiskriminasi. Berdasar kuantitas pun, ini sangat signifikan karena perempuan dan pemuda ada di kisaran 50%  dari total warga negara (Data BPS dan KPU 2023). Dalam politik negara yang pemilihan penguasa dan evaluasinya berpusat pada pemilu, dasar kualitas dan kuantitas ini amat penting dikonversi, dari massa ke suara lalu menjadi kursi kekuasaan hingga melahirkan kebijakan yang lebih adil.

Interseksionalitas politik harapan

Kelompok perempuan punya konsep dan pengalaman mensinergikan ragam kelompok. Sinergi politik ini merupakan politik harapan. Politik harapan dalam feminisme merupakan konsep yang mengacu pada perubahan sosial dan politik yang diharapkan membawa perubahan signifikan dalam kehidupan secara menyeluruh. Penekanan adanya harapan merupakan inti dari politik marginal. Di dalamnya ada narasi tentang keinginan kuat dalam mencapai kesetaraan atau sebatas kehidupan yang lebih baik. Politik harapan meyakini bahwa tindakan politik yang bertujuan mencapai kesetaraan dan keadilan akan menghasilkan masyarakat tanpa kekerasan dan diskriminasi. Feminisme punya ciri kuat sebagai politik harapan karena didukung motivasi ideal dalam mencapai kesetaraan yang utuh (Coleman & Ferreday 2010). Filsuf politik, Chantal Mouffe (1943—) dan Ernesto Laclau (1935—2014) menempatkan harapan sebagai hasrat yang mengekspresikan tindakan keseharian dan aktivitas politik.

Selain itu, feminisme mempunyai konsep interseksionalitas. Ini merupakan pendekatan dalam yang mengakui bahwa ketidaksetaraan gender tidak dapat dipisahkan dari ketidaksetaraan berdasarkan ras, kelas sosial, orientasi seksual, agama, disabilitas, dan faktor identitas lainnya, termasuk pemuda. Interseksionalitas berusaha memahami dan mengatasi cara-cara di mana sistem-sistem kekuasaan saling terkait dan saling mempengaruhi. Ketika politik pemuda memasukkan perspektif interseksionalitas feminisme dalam aktivismenya, mereka dapat berperan dalam menciptakan perubahan yang lebih inklusif dan merata bagi semua kelompok dalam masyarakat. Hal ini memungkinkan terwujudnya tujuan bersama untuk kesetaraan gender dan keadilan sosial (Runyan, 2018).

Selain identitas politik perempuan dengan feminismenya punya pengalaman dan konsep ideologis tentang subordinasi identitas tubuh, identitas politik perempuan juga sudah menjadi payung perjuangan untuk cita kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Segala ragam identitas tubuh yang mengalami kekerasan, marginalisasi, dan diskriminasi berada dalam naungan gerakan perempuan (Zournazi 2002). Hal ini dilakukan sebagaimana feminisme memayungi kelompok identitas buruh, ekonomi lemah, disabilitas, masyarakat adat, orientasi/perubahan seks/gender minoritas (bahkan laki-laki), isu lingkungan, dan lainnya.

Politik muda yang berdasar kesadaran diskriminasi dan penindasan serta mengharapkan kehidupan yang setara dan adil, punya persamaan politik harapan dengan perempuan. Sehingga, persenyawaan dua identitas tubuh subordinat ini bukan sebagai hal yang bertentangan. Justru, keduanya saling mutual karena politik perempuan yang bersifat memayungi politik pemuda akan menambah massa dan memperluas jangkauan pengaruh politik kesetaraan untuk mencapai keadilan.

Bukti sinergi dalam Women's March

Women’s March bisa menjadi bukti intimnya persenyawaan identitas politik perempuan dan pemuda. Perayaan Hari Perempuan Internasional 8 Maret ini selain berfungsi menyampaikan agenda perempuan di tiap tahunnya juga berfungsi menunjukan kekuatan jumlah massa identitas politik. Jika kita merujuk pada Women’s March di Indonesia setiap tahunnya, peserta pawai banyak dari kalangan pemuda. Aksi kolosal turun kejalan ini bukan hanya masif di ranah luring tapi juga daring melalui media sosial.  Contohnya, akun Instagram Womens March Jakarta yang per 26 Juli 2023, mempunyai lebih dari 17.300 followers.

Hebatnya, Women’s March tidak hanya diselenggarakan di Jakarta . Berdasarkan rujukan akun Women’s March lokal pada Instagram, sejumlah daerah di Indonesia juga mempunyai inisiator dan massa Pawai Hari Perempuan Internasional. Sebut saja di antaranya ada Women’s March Yogyakarta (2.554), Malang (1.452), Kupang (1.347), Lampung (892), Cirebon (572), Serang (578), Jember (460), dan lainnya. Semuanya banyak diinisiasi pemuda serta saling terhubung dan berkomunikasi.

Pawai Hari Perempuan International pun membuktikan sinergi identitas perempuan dan pemuda yang menyatu menjadi identitas perempuan muda. Ini menyadarkan, di dalam identitas perempuan ada identitas pemuda, dan di dalam identitas pemuda pun ada identitas perempuan. Di dalam identitas perempuan, jumlah pemuda lebih banyak dibanding jumlah orang tua. Di dalam identitas pemuda, jumlah perempuan relatif imbang dengan jumlah laki-laki.

Fenomena sinergi perempuan dan pemuda dalam Women’s March yang menyerta basis aktivisme digital tersebut juga terjadi di banyak negara. Tren global ini bahkan belum terjadi dalam dinamika gelombang feminisme. Para aktivis gender yang lebih muda kembali ke beberapa keprihatinan dasar gelombang kedua, di antaranya dalam isu pelecehan dan kekerasan seksual, kebebasan seksual dalam arti luas, distribusi modal dan pengorganisasian buruh (Kauppert & Kerner 2016). Yang membedakannya, para aktivis gender ini mempunyai praktik baru dalam wujud media sosial. Lucy Mangan beserta feminis lainnya dalam The Feminism Book (2019) berpandangan bahwa, feminisme gelombang keempat adalah online feminism.

Tingginya dinamika aktivisme dan pemikiran feminisme tersebut otomatis membantah penilaian pihak luar pada sekitar satu dekade yang lalu. Feminisme sempat dinyatakan sudah ketinggalan zaman. Sebagian ada yang menegaskan dengan istilah “post-feminist age”. Women’s March yang terus ramai peserta menyertakan kampanye dan edukasi di media sosial membuktikan bahwa aktivisme feminis mengalami kebangkitan luar biasa di banyak daerah, negara, dan dunia, menyerukan otonomi tubuh dalam kebebasan berekspresi, kesehatan reproduksi, dan perlawanan kekerasan seksual menyerta pendampingan dan perlindungan korban. Sehingga tidak salah jika gelombang baru feminisme sedang berlangsung (Molyneux et al. 2021).

Melalui tren baru yang positif ini, perlu disertakan kesadaran yang ditetapkan lebih luas. Pertama, gerakan politik perempuan bersama pemuda hendaknya tidak mengejar agenda tunggal gender semata melainkan perjuangan ragam aspirasi dan melawan diskriminasi bagi kepentingan ragam kelompok marginal. Kedua, karena agenda yang beragam dan partisipatif ini, pendekatan feminisme tidak lagi balik kepada penekanan gelombang feminisme kedua atau pertama, melainkan gelombang feminisme ketiga dengan pendekatan interseksionalnya (Kauppert & Kerner 2016).

Sinergi politik perempuan dan pemuda pada tataran kultural tersebut amat penting ditindaklanjuti pada tataran struktural. Dugaan dominasi massa muda dalam Women’s March penting dibuktikan dengan tradisi pencatatan jumlah. Setiap tahunnya, berapa orang yang mengikuti Women’s March, baik di Jakarta maupun di kota lainnya. Berapa yang biasa jadi inisiator/pengelola? Berapa jumlah peserta? Berapa orang yang memberikan sumbangan dana atau pembelian produk Women’s March? Lalu, berapa pastinya dominasi pemuda dalam pengelolaan dan kepesertaan Women’s March? Semuanya penting dicatat secara kuantitas menyertakan nama dan domisili.

Jumlah perempuan dan pemuda yang signifikan penting digabungkan untuk bisa mewakili politik harapan di dalam lembaga perwakilan.  Tingkat keterwakilan perempuan di parlemen digambarkan dengan keberimbangan identitas gender (dan lainnya) dalam kekuasaan legislatif. Perempuan yang berjumlah setengah penduduk negara, punya empat alasan penting dalam keterwakilan (Phillips 1995), yaitu: 1) Menawarkan model peran dari perempuan politisi yang sukses; 2) Menuntut prinsip keadilan jenis kelamin; 3) Mengidentifikasi kebutuhan khusus perempuan yang terabaikan; dan 4) Meningkatkan kualitas kehidupan politik.

Jika perempuan dan pemuda bersinergi, maka jumlah dan jangkauan politik harapan akan signifikan menguat, mulai dari basis massa, pencalonan, dan keterpilihan politik. Lembaga negara yang representatif bagi perempuan dan pemuda akan lebih mungkin melahirkan hukum dan kebijakan yang melindungi dan menyetarakan warganya untuk mencapai keadilan. []

USEP HASAN SADIKIN