Mewaspadai Aliran Uang Ilegal di Pemilu 2024

Mewaspadai Aliran Uang Ilegal di Pemilu 2024
Image credit: rumahpemilu.org

Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK) mengumumkan 11 provinsi dengan risiko tinggi dana kampanye sebagai sarana tindak pidana pencucian uang (TPPU) (8/8). 11 provinsi tersebut yakni DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Papua, Bali, dan Bengkulu.

“Ada 11 provinsi dengan rata-rata risiko tertinggi dana kampanye sebagai sarana pencucian uang bercampur dengan dana hasil ilegal. Artinya, memang ada potensi dana hasil tindak pidana masuk sebagai biaya untuk kontestasi politik itu," ujar Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, pada Forum Diskusi Sentra Gakkumdu yang ditayangkan YouTube Kemenko Polhukam (8/8).

Sebelumnya, PPATK menyebutkan adanya transaksi 1 triliun yang mengalir ke partai politik untuk membiayai Pemilu 2024. Uang tersebut berasal dari tindak pidana kejahatan lingkungan.

Hal tersebut menjadi sorotan masyarakat sipil dan akademisi. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan bahwa temuan PPATK harus dicermati oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK). Peserta pemilu dilarang untuk menerima dana kampanye dari sumber-sumber ilegal dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D).

“Peserta pemilu tidak boleh menerima dana dari sumber kejahatan, apakah kejahatan lingkungan, narkoba, perjudian, atau pencucian uang. Nah ketika uang itu masuk ke pembuat kebijakan, apa yang mereka harapkan? Pasti timbal balik. Nah timbal balik apa yang bisa diterapkan? Pembuatan kebijakan, penganggaran, perizinan yang bisa dikeluarkan untuk kepentingan-kepentingan yang merugikan,” tegas Titi pada diskusi “Awasi Dana Kampanye Paslon di Pilpres 2024! Apa Saja yang Perlu Dicermati?” di Youtube Kompas TV (12/9).

 

Menindak dengan regulasi pemilu tak cukup

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyebutkan bahwa Undang-Undang Pemilu No.7/2017 tak mengatur masalah penindakan arus uang ilegal dalam dana kampanye pemilu. Ia berharap KPU dapat menerjemahkan aturan-aturan yang ada di UU Pemilu ke dalam aturan teknis, dan megnimbau agar masyarakat sipil terus melakukan pengawasan.

“Nah, aturan kita hari ini belum lengkap. Kami berharap pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bisa menerjemahkan UU yang ada, dan juga masyarakat sipil yang terus mengawasi dan menyuarakan itu. Kalau semua keadaannya mengatakan jangan, kan lama-lama pusing juga yang ikut berkompetisi ini,” tukas Doli pada diskusi yang sama dengan Titi.

Sementara itu, Titi merekomendasikan agar penelusuran terhadap temuan PPATK dan akuntabilitas dana kampanye di pemilu melibatkan PPATK dan KPK. Bawaslu tak memiliki instrumen untuk menelusuri aliran uang.

“Ada ruang-ruang yang tidak bisa hanya mengandalkan rezim hukum pemilu, karena UU Pemilunya sangat terbatas. Bawaslu tidak bisa menelusuri aliran dana korupsi. Yang bisa dilakukan adalah memeriksa kepatuhan, dan apakah yang dibelanjakan sesuai atau tidak. Itu pun pendekatanya administratif. Utk menemukan apakah ada aliran ilegal, itu ranah yang bisa diperankan oleh PPATK,” jelas Titi.

Ia juga mendorong agar penegakan hukum uang ilegal di pemilu menggunakan UU Pencucian Uang. Di pemilu Indonesia kerap muncul dugaan masuknya uang dari asing.

“Kita bisa ekspansi menggunakan instrument-instrumen hukum yang sudah ada, karena ini kan kejahatan tingkat tinggi. Manipulasi pemilu bisa juga terjadi secara modern, yaitu permainan uang seperti pencucian uang, juga dana ilegal yang tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga luar negeri,” ungkap Titi.

Doli dan Titi meminta agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) berkomitmen membuka semua laporan dana kampanye yang dilaporkan oleh peserta pemilu. Transparansi laporan dana kampanye berguna untuk dua tujuan, yakni membuka pengawasan dari masyarakat terhadap dana kampanye. Kedua, sebagai pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihan.

Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Dana Kampanye, terdapat tiga jenis laporan dana kampanye yang akan dilaporkan oleh peserta pemilu. Pertama, Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) yang wajib diserahkan peserta pemilu 5 hari sebelum pelaksanaan kampanye. Kedua, Laporan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), diserahkan di dalam tahapan kampanye. Ketiga, Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK), diserahkan paling lambat 15 hari setelah hari pemungutan suara. []

AMALIA SALABI

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Amalia Salabi is a researcher at Perludem and electionhouse.org organizer. Amalia has an interest in women's issues, alternative politics, Islamic politics, election technology, and digital campaigns. Amalia's work can be read at Perludem.org. She loves read and watching movies.
Lihat Semua Post