Disinformasi SARA Masih Jadi Ancaman Pemilu

Disinformasi SARA Masih Jadi Ancaman Pemilu
Image credit: rumahpemilu.org

Presidium Mafindo Puji F Susanti menyatakan disinformasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) masih menjadi ancaman dalam Pemilu 2024. Masyarakat sebagai pemilih penting mendapatkan pemahaman untuk bisa mengenali disinformasi atau hoaks. Penindakan terhadap hoaks (debunking) harus menyertakan pengkondisian terhadap hoaks (prebunking), seperti halnya upaya seiring antara pencegahan dan pengobatan dalam mengatasi penyakit.

Prebunking adalah upaya kita memvaksinasi masyarakat, bagaimana kita memahami penyebaran hoaks supaya kita waspada,” terang Puji dalam “Pelatihan Prebunking Disinformasi Pemilu” digagas Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kota Bogor Jawa Barat (28/8).

Ia mencontohkan sejumlah hoaks Pemilu 2024 yang mulai bertebaran di masyarakat. Di Twitter bahkan ditemukan hoaks tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) anggarkan Rp 5 triliun demi muluskan Jokowi 3 periode. Ini contoh hoaks dalam kelompok misleading content (konten menyesatkan).

Puji menambahkan, hoaks tidak cukup hanya ditangani dengan debunking, yakni membongkar hoaks yang sudah ada melalui cek fakta. Dengan kolaborasi antar lembaga, upaya prebunking dapat menjadi rambu bagi masyarakat dalam menerima informasi seputar Pemilu 2024.

“Peran lembaga pemilu maupun organisasi masyarakat sipil sangat penting karena hoaks dan ujaran kebencian berisiko memecah belah masyarakat dan menimbulkan distrust,” ujarnya.

Terdapat tiga kategori yang menjadi basis narasi disinformasi SARA. Pertama, berbasis paham/ideologi seperti antikomunis/PKI. Kedua, berbasis etnis/rasisme, misalnya, anti-Cina atau anti-Arab. Ketiga, berbasis agama/keyakinan.

Lebih jauh, Puji menyatakan, tiga basis narasi disinformasi SARA tersebut dapat dikenali pada tipe narasi yang bersifat negatif. Seperti menyerang latar belakang atau pernyataan/janji kampanye, semi bertahan atas ketidakadilan, lelucon dan sindiran/sarkas/meme.

“Target misinformasi dan disinformasi selalu menyasar emosional: menakut-nakuti, memenangi kontestasi secara curang, menimbulkan ketidakpercayaan, menghadirkan kebimbangan, menyuburkan hate speech, rasisme, bahkan berpotensi chaos, misalnya kerusuhan 21-22 Mei 2019 pascapengumuman hasil Pilpres,” pungkas Puji. []

NUR AZIZAH

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Lihat Semua Post