Menagih Komitmen Keterwakilan Perempuan kepada Penyelenggara Pemilu

Menagih Komitmen Keterwakilan Perempuan kepada Penyelenggara Pemilu
Image credit: rumahpemilu.org

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi pencalonan minimal 30% perempuan DPR/DPRD yang diajukan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP). Sifat final mengikat putusan MA harus ditindaklanjuti oleh komitmen Komisi Pemilihan Umum dengan merevisi Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023. Putusan ini pun harus menyadarkan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk berkomitmen terhadap amanah keterwakilan perempuan secara lebih luas sesuai hierarki peraturan perundangan-undangan.

“Kita bertepuk tangan dulu untuk kemenangan rakyat dalam memperjuangan keterwakilan perempuan karena MA mengabulkan uji materi yang disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan,” kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah dalam diskusi “Pemilu 2024: Mau Dibawa ke mana Demokrasi Kita?” di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (Fisipol UGM), Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (30/8) yang ditayangkan langsung melalui kanal Youtube Fisipol UGM.

Menurut Hurriyah, sudah ada beragam upaya yang menghambat keterwakilan perempuan minimal 30%. Terakhir, pada tahap pencalonan DPR/DPRD Pemilu 2024 dilakukan oleh KPU melalui PKPU 10/2023. Pasal 8 ayat (2) peraturan ini berketentuan pembulatan ke bawah terhadap persentase perempuan dalam daftar calon DPR/DPRD di tiap daerah pemilihan.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati dalam kanal yang sama (31/8) menjelaskan, Pemilu 2024 menggunakan undang-undang pemilu yang sama dengan Pemilu 2019. Harapannya, saat UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum tidak direvisi, Pemilu 2024 bisa dipersiapkan lebih baik melalui peraturan teknis yang dibuat oleh KPU dan Bawaslu.  

Ketua KPU DIY, Hamdan Kurniawan menyampaikan otokritik terhadap KPU tingkat pusat. Kewenangan KPU dalam membuat peraturan, seharusnya menjamin kualitas demokrasi melalui proses yang terbuka dan partisipatif. Hamdan menilai pada Pemilu 2024 ini peraturan mengenai pencalonan dan kampanye, termasuk di dalamnya mengenai keterwakilan perempuan, belum cukup terbuka dan partisipatif.

“Meskinya dalam membuat peraturan, KPU harus melibatkan berbagai aktor pemangku kepentingan. Bukan hanya peserta pemilu tapi juga NGO pemerhati pemilu. Proses keterbukaan ini bukan hanya mengundang tapi ada jaminan tindaklanjut dari masukan masyarakat,” ujar Hamdan.

Keterwakilan perempuan di penyelenggara pemilu

Sebelumnya, organisasi perempuan Kalyanamitra dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia menyelenggarakan Open Mic bertajuk “Suara Perempuan untuk Pemilu 2024: Mempertegas Komitmen Negara untuk Pemilu yang Setara, Berkeadilan, dan Inklusif” secara daring (28/8). Tujuan kegiatan ini di antaranya untuk mengingatkan penyelenggara pemilu menaati peraturan perundang-undangan tentang keterwakilan perempuan minimal 30%. Ketua Kalyanamitra, Listyowati menjelaskan, kegiatan ini pada konteks Pemilu 2024 menjadi bagian dari konsolidasi gerakan perempuan dan prodemokrasi serta generasi muda dalam menciptakan pesta demokrasi yang setara, inklusif, dan demokratis.

Sekretaris Jenderal KPI, Mike Verawati menyampaikan Pemilu 2024 mengalami penyempitan ruang afirmasi perempuan. Selain pencalonan perempuan minimal 30% tiap daerah pemilihan yang dilanggar oleh KPU dan hampir semua partai politik, keterwakilan perempuan dalam keanggotaan penyelenggara pemilu pun diabaikan. Padahal, undang-undang dasar dan undang-undang pemilu menjamin keterwakilan perempuan melalui ketentuan afirmasi.

“Kita tahu sampai dengan pengumuman yang dilansir oleh Bawaslu RI, jumlah perempuan yang duduk dalam penyelenggara pemilu pun semakin berkurang. Bahkan, di berbagai provinsi dan kabupaten/kota, keanggotaan penyelenggara pemilu adalah laki-laki semua,” kata Mike.  

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini menilai miris terhadap penyempitan ruang afirmasi perempuan pada Pemilu 2024 yang disebabkan oleh lembaga penyelenggara pemilu. Padahal lembaga ini merupakan buah dari Reformasi. Dalam seleksi anggota KPU/Bawaslu, perempuan tidak menjadi prioritas untuk dipilih.

“Menurut saya, penting kita mengupayakan aktivisme hukum. Kita harus melihat semua kesempatan untuk melakukan upaya hukum atas berbagai pelanggaran hukum (ketentuan keterwakilan perempuan),” sara Titi.

Peneliti Senior Netgrit, Hadar Nafis Gumay senada dengan Titi bahwa, kebijakan penyelenggara pemilu yang mengabaikan keterwakilan perempuan tersebut penting untuk ditindaklanjuti melalui jalur peradilan. Dengan ini, pintu masuk pelibatan perempuan minimal 30% pada Pemilu 2024 bisa lebih dijamin.

“Ada saluran pelaporan anggota penyelenggara pemilu di DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), ada judicial review ke Mahkamah Agung. Ayo kita kawal ini semua,” ujar Hadar.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Nova Sigiro mengatakan, pemilu merupakan bagian dari demokrasi. Artinya, nilai-nilai demokrasi seperti kesetaraan dan kebebasan yang menjunjung tinggi HAM di antaranya adalah universalitas dan antidiskriminasi, termasuk bagi perempuan. Semua ini harus dijamin dalam penyelenggaraan pemilu serta kelembagaan partai politik dan parlemen.

“Kita perlu memastikan bahwa pemilu yang akan datang dijalankan sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Negara merupakan penanggungjawab prinsip tersebut yang juga merupakan sarana untuk memastikan perlindungan manusia, termasuk perempuan,” kata Atnike. []

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Lihat Semua Post