Mau Dibawa ke Mana Demokrasi Kita?

Mau Dibawa ke Mana Demokrasi Kita?
Image credit: rumahpemilu.org

Pemilu sebagai jalan kekuasaan dalam demokrasi berkonsekuensi pada persimpangan kualitas pemerintahan. Dari para pejabat politik terpilih, pemerintahan bisa menjadi lebih baik, sama baik, atau malah menjadi lebih buruk. Penyelenggara pemilu, pemilih, dan peserta pemilu menjadi penentu arah kualitas demokrasi. Konteks Pemilu 2024 Indonesia, arah demokrasi ini juga punya tantangan pada ranah digital dan lembaga pendidikan terutama untuk menjamin kampanye dan informasi pemilu yang bebas dan adil.

“Ternyata, prosedur pemilu seperti peraturan KPU, bisa amat berdampak pada buruknya substansi demokrasi,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah dalam diskusi “Pemilu 2024: Mau Dibawa ke Mana Demokrasi Kita?”, Universitas Gajah Mada (UGM), Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (30/8).

Menurut Hurriyah, demokrasi yang lebih baik salah satu tanggungjawabnya ada di penyelenggara pemilu dengan menjamin pemilu yang representatif bagi perempuan. Jika pencalonan perempuan legislatif tidak representatif, arah demokrasi menghasilkan parlemen minimal 30% perempuan akan makin sulit dicapai.

Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati mengingatkan, berbagai aktor pemilu harus belajar dari Pemilu 2019. Undang-Undang 7/2017 masih menjadi dasar hukum untuk pemilu serentak pada 2024. Sayangnya, peraturan yang dibuat oleh KPU tidak menjadi lebih baik dibanding Pemilu 2019. Ini bukan hanya ketentuan pencalonan minimal 30% perempuan di daerah pemilihan tapi juga ketentuan tentang laporan dana kampanye dan pencalonan mantan koruptor.

“Dana kampanye juga terkait dengan maraknya kampanye dan disinformasi di media sosial. Penyelenggara pemilu belum menyiapkan baik peraturan untuk keterbukaan dana kampanye dan disinformasi di media sosial,” ujar Nisa (31/8).

Ketua KPU DIY, Hamdan Kurniawan menyampaikan otokritik terhadap KPU tingkat pusat. Kewenangan KPU dalam membuat peraturan, seharusnya menjamin kualitas demokrasi melalui proses yang terbuka dan partisipatif. Hamdan menilai pada Pemilu 2024 ini peraturan mengenai pencalonan dan kampanye, termasuk di dalamnya mengenai keterwakilan perempuan, belum cukup terbuka dan partisipatif.

“Meskinya dalam membuat peraturan, KPU harus melibatkan berbagai aktor pemangku kepentingan. Bukan hanya peserta pemilu tapi juga NGO pemerhati pemilu. Proses keterbukaan ini bukan hanya mengundang tapi ada jaminan tindaklanjut dari masukan masyarakat,” ujar Hamdan.

Anggota Badan Pengawas Pemilu, Totok Hariyono menekankan, sebagai pengawas pemilu, Bawaslu bukan hanya mengawasi peserta pemilu tapi juga KPU. Sebagai sesama penyelenggara pemilu Bawaslu penting bekerjasama dengan KPU berdasarkan fungsi dan kewenangan masing-masing untuk pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia (Luber) serta jujur dan adil (Jurdil). Tapi, jika ada pelanggaran yang dilakukan KPU, kerjasama berlaku menjadi pelaporan dan penegakan hukum.

“Seperti masalah Silon (sistem informasi pencalonan), mohon maaf, Bawaslu harus laporkan anggota KPU ke DKPP,” tegas Totok.

Selain itu, Totok menyadari amat besar dan kompeksnya Pemilu Serentak 2024 Indonesia. Seiring keterbatasan Bawaslu, fungsi pengawasan pelanggaran pemilu, harus diperluas dan menyertakan pelibatan masyarakat sipil. Pengawasan gotong royong Bawaslu ini di antaranya dengan memperluas akses dan dukungan terhadap masyarakat sipil untuk menjadi pengawas pemilu di setiap tingkatan, dari pusat hingga pengawas tempat pemungutan suara (TPS). Organisasi tempat masyarakat sipil aktif pun bisa menjadi lembaga pemantau terakreditasi pemilu oleh Bawaslu.

Pimpinan Dewan Mahasiswa UGM, Maskana Putri berpendapat, kualitas demokrasi hasil pemilu juga ditentukan oleh para pemilih muda. Pemilih berusia 17-40 tahun yang berjumlah lebih dari 50% ini punya tantangan bagaimana bisa mengkonsumsi informasi pemilu dengan baik sehingga bisa menjadi pertimbangan menentukan pilihan calon atau partai politik dalam pemilu.

Maskana berharap, pemilih muda bisa belajar dari pemilu sebelumnya. Jangan lagi pemilih muda hanya dijadikan objek pendulang suara oleh para peserta pemilu. Pemilih muda hendaknya lebih rasional dan kritis serta menggunakan sumber informasi yang lebih dipercaya. Jangan lagi pilihan lebih berdasarkan emosional.

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Mada Sukmajati mengatakan, demokrasi mau dibawa ke mana penting diingatkan pada konteks indeks demokrasi dan kebebasan yang terus turun sejak 2012 hingga 2023 (Freedom House dan The Economist). Menurutnya, kita penting merujuk apa yang sudah dijelaskan dalam buku “How Democracies Die?”.

“Sebelumnya studi politik tidak mengira keadaan demokrasi suatu negara bisa mundur signifikan bahkan mati. Untuk menghindari ini kita diingatkan untuk menutup kemungkinan terpilihnya para pejabat politik yang meragukan demokrasi, menghambat kebebasan dan keterbukaan, serta membiarkan kekerasan bahkan melakukan kekerasan,” tegas Mada.

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Bambang Eka mengatakan, salah satu variabel yang diukur dalam indeks demokrasi adalah budaya politik. Di variabel ini Indonesia masih belum baik, salah satunya karena maraknya politik uang. Dalam praktiknya, politik uang melibatkan peserta pemilu dan pemilih sehingga kedua aktor ini jika semakin menjauh dari politik uang akan menentukan kualitas demokrasi yang lebih baik.

“Pada tataran elite, undang-undang pemilu telah memberikan kewenangan besar bagi Bawaslu yang sekarang untuk menangani politik uang. Apa yang Bawaslu akan lakukan dalam tataran pencegahan dan penindakan?” ujar Eka menantang Bawaslu.

Anggota Dewan Mahasiswa Fisipol UGM, Raihan Malcolm berpandangan, mahasiswa sebagai bagian dari pemilih muda punya peran besar dalam mengoptimalkan kampanye di kampus sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi. KPU punya tantangan dalam menyiapkan peraturan untuk menjamin netralitas kampus. Bawaslu pun punya tantangan menjamin tidak adanya pelanggaran yang dilakukan peserta pemilu, KPU, bahkan kampus itu sendiri.

“Kampanye di kampus juga sangat mungkin terjadi pelanggaran pemilu,” kata Raihan. []

USEP HASAN SADIKIN