Kampanye Masuk Kampus, Debat Bisa Lebih Serius

Kampanye Masuk Kampus, Debat Bisa Lebih Serius
Image credit: rumahpemilu.org

Ruangan riuh dengan tepuk tangan mahasiswa ilmu politik di suatu kampus di daerah pinggiran Jakarta. Tepuk tangan itu ditujukan untuk jawaban dari pertanyaan salah seorang mahasiswi, “Kenapa sih debat kandidat itu gak dilakukan di kampus? Padahal kan kita sebagai mahasiswa perlu ruang lebih intens untuk berdiskusi dengan para calon yang akan kita pilih untuk memimpin negara ini?”.

Jawaban, yang juga harapan untuk Pemilu 2019, itu rupanya baru bisa terwujud di momen Pemilu 2024. Lima tahun setelahnya. Sebab, saat itu terdapat beda pendapat antara penyelenggara pemilu. Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu No.7/2017 melarang kampanye di fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Namun, dalam Penjelasan Pasal tersebut, disebutkan norma bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye, dan atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

Pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Alhasil, meski UU Pemilu memberikan ruang untuk debat kandidat dilakukan di kampus, ketidakpastian membuat para pihak di kampus ragu.

Mahasiswa dan publik mesti merasa cukup dengan debat resmi ala KPU, dengan waktu serba ketat. Bayangkan saja, kita “diminta lega” dengan jawaban untuk berbagai isu dalam waktu hitungan menit. Jika kamu menyimak Twitter kala debat, banyak komentar “Gitu doang?” dan “Kok normatif banget ya jawabannya?” dari banyak akun. Memimpin lima tahun, tapi penjelasan gagasannya bikin makin bingung.

 

Aturan kampanye di tempat pendidikan

Pembatasan kampanye di tempat pendidikan telah diatur dalam Pasal 74 huruf g UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 12/2003). Namun, pengecualian dilakukan dengan tiga syarat. Pertama, atas prakarsa, atau mendapat izin dari pimpinan lembaga pendidikan. Kedua, tempat pendidikan memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu. Ketiga, kegiatan tidak mengganggu proses belajar mengajar.

Aturan tersebut muncul kembali di UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Di dalam Penjelasan Pasal 86 ayat (1) huruf h UU No.8/2012, dinyatakan bahwa tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab tempat pendidikan. Dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan tempat pendidikan ialah gedung dan halaman sekolah atau perguruan tinggi.

Bunyi norma yang sama persis diatur di dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Dengan demikian, aturan pembatasan kampanye di tempat Pendidikan, dengan norma pengecualian, telah diatur sejak UU No.12/2003. Dalam tulisan Titi Anggraini berjudul “Dilema Kampanye di Tempat Pendidikan” (Media Indonesia, 28 Agustus 2023), pembatasan kampanye di tempat pendidikan belum diatur pada Pemilu 1999.

 

Mahkamah Konstitusi (MK) tidak melarang kampanye di tempat pendidikan

Pemohon perkara No.65/PUU-XXI/2023 meminta agar MK melarang kampanye di tempat pendidikan, fasilitas pemerintah, dan tempat ibadah. Namun, dalam putusannya, MK hanya melarang kampanye di tempat ibadah.

Dalam pertimbangan hukum, MK menerangkan bahwa pembatasan kampanye dalam pemilu dapat dilakukan dengan cara membatasi waktu pelaksanaan, media yang digunakan, pendanaan, serta lokasi atau tempat tertentu. Pembatasan kampanye berdasarkan lokasi atau tempatnya didasarkan pada beberapa prinsip yang bertujuan untuk menjaga netralitas dan integritas proses pemilu, mencegah gangguan terhadap aktivitas publik di tempat-tempat tertentu, dan demi menghindari penyalahgunaan penggunaan fasilitas publik.

“Bagaimanapun, prinsip keseimbangan mengharuskan adanya keseimbangan antara hak-hak dan kepentingan para kandidat atau partai politik yang berkampanye dengan hak-hak dan kepentingan masyarakat umum serta institusi publik. Sedangkan prinsip netralitas mengharuskan agar beberapa tempat publik tetap netral dari anasir politik praktis guna menjaga adanya kenetralan dalam penggunaan sumber daya publik. Berpijak pada kedua prinsip tersebut, larangan atau pembatasan beberapa tempat publik untuk tidak boleh digunakan sebagai tempat kegiatan kampanye merupakan keniscayaan dalam penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil,” halaman 40 Putusan MK No.65/PUU-XXI/2023.

Pada amar putusan, MK mengubah aturan kampanye Pasal 280 ayat (1) huruf h menjadi “Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”. Bunyi Penjelasan Pasal tersebut di UU Pemilu No.7.2017 yakni “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.”

Dengan demikian, MK mengubah dua hal. Pertama, memasukkan norma “sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu” ke dalam badan Pasal. Kedua, mengubah dari “atas undangan dari pihak penanggung jawab”, menjadi “sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab”. Pengaturan “mendapat izin” ini mirip dengan bunyi norma di UU No.12/2003.

 

Kampus bisa dorong debat kampanye yang substansial

Ramai perbincangan kampanye di tempat pendidikan mesti disambut oleh para civitas akademika. Komunitas-komunitas atau kelompok-kelompok di kampus dapat mendesain debat partai dan debat kandidat dengan isu-isu pilihan atau prioritas, dengan cara sekreatif mungkin.

Pilihan masalah untuk diangkat tak terbatas. Mulai dari polusi udara yang kian memburuk, perubahan iklim yang bisa berdampak pada krisis pangan, kerusakan lingkungan, energi baru dan terbarukan, pemerintahan partisipatif nan ramah kaum marginal, reformasi di berbagai sektor, peluang pemanfaatan teknologi, diversifikasi ekonomi, hingga isu ruang terbuka yang lebih inklusif dan kebijakan yang dibutuhkan kaum muda.

Merebut ruang publik untuk isu-isu yang substantif bahkan tak perlu menunggu masa kampanye. Orang-orang muda tak boleh mengalah pada pengalihan narasi yang menjurus pada hal tak penting seperti politik identitas suku, agama, ras, atau malah perubahan nama koalisi sebelah.

Kampanye dalam bentuk debat kandidat atau debat partai di tempat pendidikan tak ada masalah. Asalkan adil dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak. Publik butuh banyak panggung yang dapat membuka lakon dan pikir semua yang bisa jadi duduk di pemerintahan. Jangan sampai terpilih orang-orang yang jauh laku dari apa yang ditawarkan. []

AMALIA SALABI

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Amalia Salabi is a researcher at Perludem and electionhouse.org organizer. Amalia has an interest in women's issues, alternative politics, Islamic politics, election technology, and digital campaigns. Amalia's work can be read at Perludem.org. She loves read and watching movies.
Lihat Semua Post