Tantangan Penjabat Kepala Daerah untuk Transparan dan Inklusif

Tantangan Penjabat Kepala Daerah untuk Transparan dan Inklusif
Image credit: rumahpemilu.org

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Transparansi, Inklusi, dan Demokrasi (ASPIRASI) mengingatkan pentingnya peran masyarakat dalam tata kelola pemerintahan. Para penjabat kepala daerah terpilih yang kurang melibatkan masyarakat mempunyai sejumlah tantangan dalam mendorong menghasilkan kebijakan publik yang inklusif dan bersih dari korupsi.

“Bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah Daerah itu berupaya meningkatkan pertama pelayanan publik, yang kedua pemberdayaan, yang ketiga peran serta masyarakat, dan yang keempat adalah daya saing daerah," terang Direktur Ekskutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman dalam diskusi bertajuk "Pentingnya Partisipasi Kelompok Marjinal dan Media untuk Kebijakan Publik yang Inklusif," pada Selasa (8/8).

Dalam kajian KPPOD, imbuh Suparman, partisipasi masyarakat menjadi indikator penting selain indikator ekonomi, sosial lingkungan, dan tata kelola. Ini salah satu konsideran dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.

Pemilihan penjabat yang serampangan

Direktur Ekskutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menyatakan, penjabat akan mengisi pemerintahan daerah di masa transisi sebagaimana diatur dalam UU 10/2016 jo UU 1/2015 jo Perpu 1/2014.

“Konsekuensi lainnya adalah kemarin yang pilkadanya 2020 itu mereka masa jabatannya tidak 5 tahun sampai 2025 tapi sampai 2024 saja, itu sudah disebutkan dalam undang-Undang Pilkada,” terang Khoirunnisa.

Yang jadi permasalahan, kata Khoirunnisa, prosedur penentuan penjabat kepala daerah melalui penunjukan langsung oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri yang masih serampangan. Sementara, ujar Khoirunnisa, Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan penentuan penjabat dipilih secara demokratis. Ini berarti prosedur penunjukan juga harus demokratis.

Tahun lalu, Mahkamah Konsitusi secara tegas dan jelas memberikan guideline dan prosedur terkait penentuan penjabat kepala daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, bertanggal 20 April 2022 menyatakan, "Pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah." 

Rambu tersebut juga tercantum dalam putusan MK Nomor 15/PUUXX/2022 dan Putusan MK Nomor 18/PUU-XX/2022.

"Misalnya minta pertimbangan DPRD dan sebagainya,  tapi pada kenyataannya, sejak putusan Mahkamah Konstitusi itu diputuskan tahun lalu sampai hari ini rasanya kita belum pernah dapat dokumen atas dasar apa pengangkatan penjabat,” ujar perempuan yang akrab disapa Ninis.

Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri 4/2023, mengatur bahwa pengusulan Pj Gubernur dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri dan DPRD melalui Ketua DPRD provinsi. Di sini juga jelas diatur bahwa Kementerian Dalam Negeri dan DPRD, masing-masing mengusulkan tiga kandidat yang memenuhi persyaratan. Tiga kandidat yang lolos penjaringan kemudian disampaikan kepada presiden melalui Menteri Sekretaris Negara.

Sedangkan pengusulan penjabat bupati dan wali kota, pengusulan kandidat dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, Gubernur, dan DPRD. Masing-masing mengusulkan tiga kandidat. Dari penjaringan sembilan kandidat, ditentukan tiga nama yang kemudian disampaikan kepada presiden untuk ditetapkan satu nama sebagai penjabat bupati atau wali kota. 

Namun yang terjadi Kemendagri malah serampangan. Skema penjabat yang sudah diatur oleh konstitusi justru melenceng dari prosedur. Khoirunnisa berpandangan prosedur penentuan penjabat tak lepas dari campur tangan pusat. Praktik ini tentu mengancam kredibiltas hasil Pemilu 2024.

“Jangan sampai penjabat ini mengabaikan aspirasi atau partisipasi dari daerah karena, misalnya, oh dia ini orangnya pusat, bukan orang yang dipilih secara langsung sehingga mungkin dalam pengambilan kebijakan tidak mulus,” katanya.

Lebih jauh ia menjelaskan, UU Pilkada mengatur penjabat kepala daerah dilantik untuk masa jabatan satu tahun. Jika lebih dari satu tahun, seharusnya pemerintah mempunyai penilaian apabila hendak memperpanjang masa jabatan kepala daerah terpilih. Di sini perlu pelibatan publik.

“Apakah kebijakan-kebijakan dari si penjabat ini juga menyentuh kebutuhan dari kelompok-kelompok yang termarginalkan tadi, misalnya, masyarakat adat, disabilitas, perempuan, atau anak muda,” kata Ninis.

Membincang tentang peran serta masyarakat adalah membuka akses bagi publik untuk terlibat dalam segala dimensi tata kelola mulai dari perencanaan, penganggaran, penyusunan, hingga pengesahan. Masyarakat juga menjadi bagian penting dalam proses monitoring dan evaluasi terhadap seluruh dimensi tersebut. Sayangnya temuan kajian KPPOD masih jauh panggang dari api.

“Kalau teman-teman membuka RKPD (Rencana Kerja Pembanguan Daerah), itu pasti di dalamnya mengatur terkait dengan partisipasi, tapi dalam kajian kami yang lain misalnya terkait dengan peraturan daerah itu sebenarnya hanya menjadi macan kertas tetapi tidak terimplikasi atau tidak terealisasi dalam seluruh dimensi tadi," kata Suparman.

Kajian KPPOD bahkan menemukan Undang-Undang Pemda berikut regulasi turunannya masih belum mengakomodasi kelompok rentan. Padahal dalam konteks pelayanan publik, KPPOD melihat tiga hal, yakni, terkait kebijakan, desain kelembagaan, dan platform layanan. Meski begitu, masyarakat masih dianggap sebagai obyek kebijakan.

"Dalam proses penyusunan regulasi turunan kalau undang-undang regulasi turunan terutama dalam beberapa peraturan-peraturan pemerintah, jangankan masyarakat, pemerintah daerah yang menjadi subjek pembangunan di daerah itu juga tidak dilibatkan secara bermakna dalam proses penyusunan peraturan-peraturan," ungkap Suparman.

Dengan melibatkan pubik dalam penentuan penjabat kepala daerah, itu berarti pemerintah patuh dan tunduk terhadap putusan Komisi Informasi (KI) nomor 007/I/KIP-PSI/2023. Putusan ini memenangkan gugatan Indonesia Corruption Watch agar Kementerian Dalam Negeri membuka informasi tentang penentuan penjabat  kepala daerah.

Atas dasar itulah, ASPIRASI berkolaborasi memetakan kebijakan daerah yang masih belum merangkul kebutuhan kelompok marjinal. Upaya ini dilakukan agar publik dapat mengevaluasi dan memberikan masukan dan tanggapan terhadap kinerja penjabat kepala daerah.

“Kalau kepala daerah definitif kan kita menagih janjinya, ya, dengan janji kampanyenya dia. Sementara penjabat ini, kan, dia tidak punya janji kampanye. Tapi bagaimanapun juga dia juga perlu dinilai,” kata Ninis.  

Kolaborasi media

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito punya pandangan serupa. Ia menyoroti penunjukan penjabat kepala daerah yang tidak transparan. Meski Kementerian Dalam Negeri mengklaim prosedur penentuan penjabat sudah sesuai aturan, faktanya justru berkebalikan.

“Indikatornya apa juga tidak pernah ada keterbukaan atau informasi dokumen yang disampaikan oleh presiden ataupun kemendagri ke publik. Bahkan ke teman-teman jurnalis, kita juga enggak pernah dilibatkan,” ujarnya.

Padahal, kata Sasmito, teknologi mendukung keterbukaan informasi bagi publik. Perkembangan teknologi seyogyanya bisa menjadi alat bagi Kementerian Dalam Negeri untuk melibatkan masyarakat dalam prosedur penunjukkan penjabat kepala daerah.

“Supaya kita tahu, misalkan, si A dipilih karena apa, si B tidak dipilih karena apa, jangan sampai kemudian kita tahunya cuman di ujung, misalkan, di Aceh ketika dipilih ternyata masih aktif sebagai prajurit TNI,” kata Sasmito.

Sasmito menambahkan, kalaupun publik tidak dilibatkan setidaknya DPRD setempat bisa ikut mengkritisi kinerja penjabat kepala daerah. Meski begitu Sasmito mengajak media untuk ikut berperan dalam membuka informasi seputar penunjukan penjabat di tahap pemilihan.

“Yang tidak kalah penting saya piker pengawasan ke pejabat-pejabat kepala daerah yang sudah dipilih. Yang perlu kita lakukan di hulunya mungkin kita perbaiki di tingkat partisipasi publiknya dan pengawasan kebijakan. Pengawasan kebijakan yang maksimal ini saya pikir bisa dilakukan oleh teman-teman media,” katanya.

Demi menjaga independensi pemberitaan, Sasmito mengingatkan agar media di daerah bisa berkolaborasi dengan masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan. Sebab, tak dapat dihindari, jika media di daerah masih bergantung pada iklan dari pemerintah setempat.

Menggelar uji publik

Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko menyatakan, kepala daerah merupakan salah satu pilar integritas nasional.  Dalam penilaian TII ditemukan sistem integrasi nasional yang paling rentan terhadap isu korupsi antara lain anggota legislatif, pejabat di pemerintahan daerah dan pemerintah pusat, kepolisian, pebisnis, swasta, hakim, serta menteri. 

“Dari pilar-pilar ini ternyata kalau tidak dijaga integritasnya, tidak dijaga proses-proses sistematis dalam bentuk transparansinya, akuntabilitasnya, peran serta masyarakatnya, itu rentan dan berisiko terhadap korupsi,” terang Wawan.

Wawan menambahkan, Kementerian Dalam Negeri mengklaim memiliki penilaian triwulanan dengan tiga indikator; tata kelola pemerintahan, proses pembangunan, kemasyarakatan. Meski begitu, masyarakat perlu bersama-sama mencermatinya.

“Saya khawatir karena kepala daerah ini adalah bagian dari national integrated system, dia juga sangat politis yang tentunya enggak bisa dihindari proses like dan dislike,” ujarnya.

Ia mengungkapkan Kementerian Dalam Negeri sepatutnya menyiapkan sejumlah persyaratan. Ini yang kemudian menjadi spesifikasi baik DPRD maupun Kemendagri dalam menjaring kandidat. Prosedur selanjutnya, kata Wawan, Kemendagri dapat melakukan uji publik secara terbuka.

“Sosialisasi atau diseminasi, apapun itu, beri ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan,” pungkasnya. []

NUR AZIZAH

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Lihat Semua Post