Teknologi digital telah membawa tantangan baru dan kompleks pada demokrasi dan hak asasi manusia. Bekerja dan berkolaborasi dalam lintas isu, salah satunya dengan sektor pemilu, dibutuhkan.
Ujaran kebencian dan disinformasi daring beredar dengan kecepatan yang makin meningkat. Aktivis, jurnalis, dan pembela hak asasi manusia diintai dan seringkali menjadi sasaran serangan online. Hal ini menunjukkan bahwa hak digital terancam: hak asasi manusia yang mendasar—seperti kebebasan berekspresi, berasosiasi, dan berkumpul—dalam keadaan bahaya di dalam lingkup digital.
Lanskap hak digital ini, yang juga bersimpangan dengan isu lain, menjadi tema utama dalam Digital Rights Asia-Pacific 2023 Assembly (DRAPAC23). Phet Sayo, Executive Director of EngageMedia, memaparkan beberapa tantangan terkini dunia digital: pemutusan jaringan dan telekomunikasi; kemunculan undang-undang siber yang terlalu mengontrol; gangguan informasi; sensor dan pengintaian masal; penyusutan ruang sipil; penerapan kecerdasan buatan (AI); serta keadilan dan pelindungan data.
"Hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami berbagai hal. Kami mengundang Anda untuk memahami regionalitas. Kami mengundang Anda untuk memahami tuntutan peran masyarakat sipil. Kami berharap dapat bergerak secara kolektif untuk memahami bersama dan berkolaborasi,” kata Phet saat memberikan sambutan pembuka (22/5).
DRAPAC23 dilaksanakan di kompleks Chiang Mai University, Chiang Mai, Thailand pada tanggal 22-26 Mei 2023. Dalam lima hari acara yang diselenggarakan EngageMedia ini, terdapat lebih dari 125 sesi yang bertujuan untuk mempertemukan (kembali) berbagai isu dan jejaring organisasi yang bekerja di seputar isu hak digital. Tujuan ini tercermin dalam tema yang diangkat DRAPAC 23: building knowledge; building collaborations; building momentum.
Beragam sesi di DRAPAC23 mencerminkan realitas tantangan dan upaya menjamin hak digital di Asia-Pasifik yang juga beragam. Sesi-sesi tersebut mendiskusikan tema-tema seperti kecerdasan buatan, disinformasi, kekerasan berbasis gender online, ujaran kebencian, akuntabilitas perusahaan teknologi, privasi online, keadilan data, sensor, keamanan digital, dll. Tema-tema tersebut disajikan dalam perpaduan format sesi seperti diskusi panel, roundtables discussion, focus group discussion, lokakarya, pameran, dan pemutaran film.
Dari beragam diskusi hak digital tersebut, terdapat beberapa sesi yang mengangkat interseksionalitas hak digital dengan pemilu. Tuntutan akan transparansi dan akuntabilitas platform digital menjadi benang merah sesi-sesi tersebut.
Melalui sesi “Growing the Movement for Platform Accountability in Asia,” Luminate menghadirkan perbincangan mengenai pendampingan Daniel Motaung, mantan content moderator Facebook, yang menjadi whistle blower transparansi proses moderasi konten di perusahaan tersebut. Daniel Motaung, yang dipekerjakan sebagai moderator konten Facebook melalui subkontraktor Sama, memulai tindakan hukum di pengadilan Kenya terhadap kedua perusahaan tersebut. Motaung mengklaim bahwa selama bekerja, dia menghadapi konten yang menyulitkan dan eksplisit tanpa informasi awal yang memadai atau dukungan psikologis yang memadai. Akibatnya, dia berpendapat bahwa dia mengembangkan gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Hakim berpendapat bahwa Meta adalah pihak yang tepat untuk bertanggung jawab atas kasus tersebut. Putusan ini membuka jalan bagi peningkatan akuntabilitas dalam platform teknologi, memaksa perusahaan teknologi besar untuk menerapkan perubahan signifikan yang memprioritaskan kesejahteraan karyawan dan pengguna mereka di luar Amerika Serikat dan Eropa.
Transparansi moderasi konten, terutama pada masa pemilu, juga disinggung dalam sesi “Fighting (Election) Disinformation after Tech Winter.” Efektivitas proses moderasi konten yang beredar dalam masa pemilu akan menemui tantangan setelah perusahaan-perusahaan teknologi terkena tech winter—penurunan minat investasi di sektor teknologi yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja besar-besaran. Meta menjadi salah satu yang terdampak dan memberhentikan kurang lebih 11,000 pekerjanya, termasuk divisi Politics and Government Outreach yang membangun dialog dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lain.
“Untuk menghadapi pemilu-pemilu yang akan datang, Meta akan membentuk tim kecil berskala global dan divisi baru Bernama Government and Social Impact yang berpusat di Singapura,” kata Noudhy Valdryno, Meta Head of Public Policy for Indonesia and Brunei (23/5).
Topik lain soal interseksi hak digital dengan pemilu didiskusikan di sesi “Countering Hate Speech in Elections: Lessons Learnt and Ways to Counter Hate Speech.” Nalini Elumalai, Senior Malaysia Program Officer ARTICLE 19, memandu diskusi mengenai temuan ujaran kebencian pada masa pemilu di Malaysia dan Philipina dengan narasumber Wathshala Naidu, Centre for Independent Journalism (CIJ) dan Lisa Garcia, Foundation for Media Alternatives.
Di Malaysia, kelompok minoritas seperti kelompok etnis dan kepercayaan minoritas; pekerja migran; dan kelompok LGBTIQ+ sering menjadi target ujaran kebencian. Istilah ujaran kebencian sering digunakan oleh kelompok mayoritas untuk membungkam ekspresi yang dilindungi oleh hukum internasional. Individu atau kelompok yang berbicara menentang pemerintah, pejabat negara, atau agama sering ditindak dengan dalih telah menyampaikan ujaran kebencian.
ARTICLE 19 merekomendasikan penggunaan enam kategori ambang batas yang terdapat pada Rabat Plan of Action untuk menentukan suatu ujaran harus, dapat, atau justru tidak boleh dibatasi. Enam kategori tersebut adalah konteks, siapa yang berbicara, intensi, tone and style, magnitude, dan kemungkinan bahaya.
Sepanjang Pemilu 2022 di Filipina, perempuan kandidat menghadapi serangan daring berbasis gender. Pernyataan-pernyataan ofensif yang bernada misogini ini dimaksudkan untuk meremehkan kecerdasan dan kemampuan perempuan. Serangan seksis terhadap perempuan dalam peran kepemimpinan menimbulkan pertanyaan tentang hak dan kapasitas mereka untuk memandu urusan politik dan pemerintahan yang pada akhirnya menimbulkan ancaman signifikan terhadap demokrasi.
“Otoritas yang dimiliki oleh, dan dampak yang semakin besar dari, media massa dan sosial telah menjadi faktor penting dalam beberapa tahun terakhir. Dalam pemilu baru-baru ini di Malaysia, kami menyaksikan peran TikTok dalam memengaruhi dan mengobarkan kebencian. Yang memprihatinkan adalah bahwa TikTok terutama memiliki pengguna yang lebih muda dibandingkan dengan Facebook dan Twitter,” jelas Nalini Elumalai terkait latar belakang sesi tersebut.
DRAPAC23 telah mempertemukan isu-isu yang saling beririsan ini. Refleksi akan pembelajaran, tantangan, dan rencana ke depan dalam sesi-sesi selama seminggu ini telah memunculkan kebutuhan akan perubahan dan penyesuaian terhadap tantangan terkini. DRAPAC23 juga telah mempertemukan aktor sekutu yang lebih luas untuk advokasi hak-hak digital: advokat digital dan hak asasi manusia; akademisi; jurnalis; pegiat media; seniman; pembuat film; komunitas teknis; komunitas lokal; serta representasi kelompok rentan yang terpinggirkan. Momentum telah diperoleh. Langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa diskusi tentang hak digital dan ide kolaborasi dikonkritkan dan dilaksanakan. []
MAHARDDHIKA