Tiga Aturan yang Diubah KPU untuk Pemilu 2024

Tiga Aturan yang Diubah KPU untuk Pemilu 2024
Image credit: rumahpemilu.org

Tiga aturan di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) menuai kritik dari masyarakat sipil. Aturan pertama yakni, Pasal 8 ayat (2) PKPU No.10/2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, DPR Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang mengatur bahwa dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) menghasilkan angka pecahan kurang dari 50, maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah.

Dengan aturan ini, maka jumlah keterwakilan perempuan di dalam daftar bakal calon akan berkurang. Sebagai contoh, partai politik mengajukan daftar bakal calon berisi empat orang di sebuah dapil. 30 persen perempuan dari empat orang calon ialah 1,20. Dengan aturan angka pecahan kurang dari 50, maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah, yakni hanya 1 perempuan di daftar bakal calon. Padahal, 1 perempuan dari 4 orang bakal calon sama dengan 25 persen. Pasal 245 Undang-Undang Pemilu No.7/2017 mensyaratkan agar daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

“Sudah jelas di UU Pemilu, 30 persen itu harus ada per dapil, bukan total. Itu semua sudah jelas. Eh KPU kita mengatakan bahwa ada standar matematika internasional. Ini kan keputusan politik yang dimasukan ke dalam aturan. Jadi, kalau bisa tercapai 30 persen perempuan sekurangnya, harus dibulatkan ke atas. Jadi, yang dilakukan sudah bertentangan dengan UU Pemilunya sendiri,” pungkas Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, pada diskusi online “PKPU Pencalonan Bermasalah Hak Perempuan Politik Dibonsai, SILON tertutup, Masa Depan Caleg Terancam” (21/5).

Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI), Lena Maryana Mukti turut mengkritik aturan KPU tersebut. Perempuan kader turut bekerja memenangkan partai. Ia meminta hak politik perempuan untuk terwakilkan sedikitnya 30 persen di daftar calon tidak dibonsai.

“Hampir semua teman-teman di partai politik melapor ke saya, bahkan yang perempuan sendiri ikut marah. Kenapa PKPU diubah. Yang bekerja keras di partai itu juga perempuan. Mengapa kemudian hak mereka, alih-alih diperkuat, malah dipasung,” tegas Lena pada diskusi yang sama.

Aturan lain bertentangan dengan semangat anti korupsi

KPU juga mengubah aturan mengenai masa jeda untuk mantan napi korupsi dalam pencalonan di Pemilu. Pasal 11 ayat (6) PKPU No.10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota mengatur bahwa masa jeda lima tahun bagi mantan narapidana korupsi untuk berkompetisi di Pemilu Legislatif tidak berlaku jika ditentukan lain oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pidana tambahan pencabutan hak politik.

Aturan tersebut dinilai oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.56/2019, No.87/PUU-XX/2022 dan No.12/PUU-XXI/2023. Argumen MK dalam Putusan MK No.56/2019 misalnya, menyebutkan bahwa apabila seorang calon yang pernah menjalani pidana korupsi tidak diberikan waktu yang cukup untuk beradaptasi, calon tersebut berpotensi kembali terjebak pada perilaku korupsi.

Telah ada beberapa kasus kepala daerah mantan narapidana korupsi yang melakukan korupsi kembali saat menjabat sebagai kepala daerah untuk kedua kalinya. Salah satunya yakni kasus mantan bupati Kudus, Muhammad Tamzil. Pada Desember 2015, Tamzil menyelesaikan hukumannya akibat terbukti melakukan tindak pidana korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan. Ia terpilih kembali sebagai kepala daerah pada 2018, dan di tahun yang sama terjerat kasus suap pengisian jabatan.

“MK menilai itu waktu yang cukup untuk beradaptasi dan membuktikan ke masyarakat bahwa mereka sudah mengubah dirinya menjadi terpuji, sehingga ada keyakinan dari pemilih bahwa mereka tidak akan mengulangi perbuatan yang sama,” jelas Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, pada diskusi online “Kotak Pandora Kebijakan KPU RI: Menggelar Karpet Merah untuk Napi Korupsi dan Menghapus Pelaporan Dana Kampanye” (11/6).

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti mengkritik argumen KPU yang menghapuskan masa jeda lima tahun bagi narapidana korupsi dengan merujuk pada halaman 29 Putusan MK No.87/PUU-XX/2022. Menurutnya, pertimbangan MK di halaman 29 merupakan penjabaran putusan MK terdahulu. Pertimbangan MK mesti dibaca secara utuh.

“Dikatakan dalam alasan KPU soal calon koruptor itu, halaman 29 Putusan MK tahun 2022 yang mengatakan bahwa, sepanjang tidak dicabut hak politiknya. Ketika saya cek halaman 29, itu keliru cara melihatnya. Jadi, yang dijadikan argumen bahwa putusan itu sepanjang tidak dicabut hak politiknya, itu MK sedang mengutip putusan terdahulu. Kalau baca ke bawah, akan clear sekali konklusinya, bahwa MK menyimpulkan memang jeda lima tahun itu sifatnya kewajiban. Tidak menghitung lagi apakah ada pencabutan hak politik atau tidak,” urai Bivitri pada diskusi yang sama.

Penghapusan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK)

Aturan lain yang diubah KPU untuk Pemilu 2024 yakni dihapuskannya LPSDK. Alasan KPU menghapus LPSDK yakni, tak diatur oleh UU Pemilu, masa kampanye yang pendek, dan substansi LPSDK telah termuat di Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).

LPSDK merupakan kebijakan KPU yang diterapkan sejak Pemilu 2014. Diaturnya LPSDK ditujukan untuk dua hal, yakni menguatkan kelembagaan partai politik melalui pelaporan sumbangan dana kampanye yang lebih transparan dan akuntabel, dan memberikan informasi kepada pemilih terkait akuntabilitas dana kampanye peserta pemilu sebagai basis pertimbangan dalam memilih.

Pada Pemilu 2014 dan 2019, terdapat tiga laporan dana kampanye yang wajib diserahkan oleh peserta pemilu. Pertama, LADK yang disampaikan di awal masa kampanye. LADK berisi saldo awal atau saldo pembukaan dan sumber perolehan, jumlah rincian perhitungan penerimaan dan pengeluaran yang sudah dilakukan sebelum penyampaian LADK, apabila saldo awal merupakan sisa dari penerimaan dana dengan peruntukan kampanye yang diperoleh sebelum periode pembukuan LADK, dan penerimaan sumbangan.

Kedua, LPSDK yang disampaikan di pertengahan masa kampanye. Ketiga, LPPDK yang diserahkan 15 hari setelah hari pemungutan suara, dan merekap seluruh penerimaan dan pengeluaran dana kampanye.

 

“Kenapa kami dulu mengadakan LPSDK, karena kami ingin ada laporan yang cakupan informasi dan waktu laporannya memberikan benefit bagi pemilih. LPSDK ini akan meng-update sumbangan yang diterima setelah LADK. Kemudian, itu disampaikan sebelum pemungutan suara supaya masyarakat tau kredibilitas peserta pemilu, dan itu menjadi pertimbangan mereka. Jadi, ada landasan filosofisnya,” jelas mantan anggota KPU RI periode 2012-2017, Ida Budhiati pada diskusi yang sama.

Bivitri menambahkan bahwa KPU diberikan kewenangan untuk membuat peraturan atribusi. Dengan kewenangan tersebut, KPU dapat menerapkan kewajiban LPSDK sebagaimana yang diterapkan oleh KPU periode-periode sebelumnya.

“Sepanjang semuanya masih sesuai dengan fungsi KPU sebagai penyelenggara pemilu, maka KPU bisa mengaturnya karena kewenangan yang diberikan itu kepada lembaganya atau atribusi, bukan delegasi. Jadi gak perlu spesifik diatur kata-katanya seperti di UU,” kata Bivitri.

Sebagai pengganti LPSDK, KPU hendak mewajibkan peserta pemilu untuk memasukkan pembaruan dana kampanye setiap hari ke dalam Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam). Data tersebut kemudian akan dilakukan mirroring ke dalam infopemilu.kpu.go.id sebagai informasi publik.

Kebijakan baru tersebut turut menuai kritik dan pesimisme dari masyarakat sipil. Ida Budhiati memandang kebijakan itu sebatas janji manis KPU semata. Ia juga menilai absurd sebuah kebijakan yang diwajibkan, namun tak diatur di dalam PKPU.

“Soal keterwakilan perempuan, KPU berjanji akan merevisi PKPU, tapi di ujungnya tidak direalisasikan. Saya juga tidak menemukan satu klausul tentang akses informasi bagi masyarakat yang bisa diakses setiap saat di dalam PKPU 11. Akses itu hanya diberikan kepada Bawalsu, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan),” pungkas Ida.

Manajer program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil bahkan mengatakan kebijakan tersebut menunjukkan inkonsistensi cara pikir KPU. LPSDK dihapus dengan alasan tak ada di UU Pemilu. Kebijakan baru yang akan diterapkan terkait dana kampanye juga tak diatur oleh UU Pemilu.

“Nah itu menunjukkan ketidakkonsistenan cara berpikir. Penyelenggara pemilu kita sedang merusak kerangka pemilu 2024. Jadi, jangankan berharap mereka punya inovasi yang baik untuk menjaga integritas pemilu, ini malah merusak,” tegas Fadli pada diskusi yang sama.

ICW, Perludem, dan dua mantan anggota KPK, yakni Saut Situmorang dan Abraham Samad, tengah mengajukan uji materi terhadap PKPU No.10 dan 11 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung. Batas waktu pengajuan uji materi ialah 30 hari kerja.

“Keliru kalau Idham Holik mengatakan PKPU 10 dan 11 sudah melewati masa waktu untuk menggugat. Rasanya dia harus giat lagi membaca UU Pemilu, karena UU Pemilu membatasi 30 hari kerja. Lebaran itu bukan hari kerja,” tutup Kurnia. []

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Amalia Salabi is a researcher at Perludem and electionhouse.org organizer. Amalia has an interest in women's issues, alternative politics, Islamic politics, election technology, and digital campaigns. Amalia's work can be read at Perludem.org. She loves read and watching movies.
Lihat Semua Post