Pada rapat dengar pendapat di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI (29/5), anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Idham Holik menyampaikan bahwa KPU menghapus kewajiban peserta pemilu untuk melaporkan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Alasannya, LPSDK tidak diatur di dalam Undang-Undang (UU) Pemilu, masa kampanye yang singkat, dan secara substansi telah tertuang di dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Idham juga mengatakan bahwa penghapusan LPSDK merupakan rekomendasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
“Penyumbang dana kampanye yang berasal dari kelompok wajib berbadan hukum untuk memudahkan dalam penelusuran sumber dana untuk menghindari kelompok fiktif. Berkaitan dengan isu strategis ini, ini berdasarkan rekomendasi dari PPATK kepada KPU," kata Idham saat rapat dengar pendapat.
Penghapusan LPSDK dikritik oleh Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih yang terdiri atas sembilan organisasi. Menurut Koalisi, kewajiban penyerahan LPSDK harus diartikan sebagai mandat langsung dari tiga prinsip pemilu yang diatur dalam Pasal 3 UU Pemilu, yakni, jujur, terbuka, dan akuntabel. Pasal 4 huruf b UU Pemilu juga menyebutkan bahwa pengaturan penyelenggaraan pemilu bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas.
“Ssensi filosofis kehadiran LPSDK adalah untuk mendesak peserta pemilu bertindak jujur dalam melaporkan penerimaan sumbangan para calon anggota legislatifnya pada tengah waktu masa kampanye. Hal itu akan membangun instrumen pengawasan secara paralel dari pemilih, sekaligus menjadi preferensi sebelum mereka menentukan pilihan politik dalam gelaran pemilu mendatang,” tegas Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, kepada rumahpemilu.org (5/6).
Merujuk disertasi pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, KPU merupakan lembaga negara independen dan memiliki kewenangan untuk membuat aturan sendiri, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Direktur Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay mengatakan bahwa alasan masa kampanye yang singkat sebagai dalih menghapus kewajiban LPSDK tak masuk akal. Sebab, proses administrasi pelaporan bukan dibebankan kepada KPU, melainkan partai politik.
“Praktis KPU hanya menerima dan melakukan verifikasi untuk kemudian dipublikasikan kepada masyarakat. Selain itu, praktik LPSDK ini sudah terjadi sejak lama dan mestinya telah diketahui oleh setiap peserta pemilu. Kami khawatir tindakan para anggota KPU ini hanya untuk mengakomodir kepentingan politik peserta pemilu yang tidak ingin disibukkan dengan urusan administrasi pelaporan keuangan,” pungkas Hadar sebagaimana dikutip dari pers rilis yang diterima rumahpemilu.org (4/6).
Alasan KPU bahwa substansi LPSDK sudah ada di dalam LADK dan LPPDK juga dinilai bermasalah. Secara formil, LADK dan LPPDK merupakan laporan dana kampanye sebelum dan setelah masa kampanye. Sementara itu, LPSDK merupakan laporan sumbangan dana yang diterima peserta pemilu selama masa kampanye berlangsung.
“LADK itu hanya memuat sumber perolehan saldo awal rekening khusus dana kampanye. Jadi, LPSDK hanya satu-satunya medium yang dapat dimanfaatkan oleh pemilih untuk melakukan pengecekan dari aspek transparansi dan keterbukaan, bahkan kesesuaian, kandidat politik sebelum pemungutan suara pada pemilu mendatang,” tutur Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Anwar Razak.
Kewajiban melaporkan LPSDK telah diterapkan sejak Pemilu 2014. LPSDK menjadi instrumen penyambung antara pemilu dengan pemberantasan korupsi. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepertiga kasus korupsi merupakan korupsi politik.
“Oleh karenanya, setiap penyelenggaraan pemerintahan, termasuk di antaranya pergantian kursi kekuasaan melalui pemilihan umum harus berlandaskan nilai antikorupsi yang di dalamnya memuat prinsip integritas, baik transparansi dan akuntabilitas,” ujar Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana.
Koalisi mendesak agar KPU RI tetap mewajibkan LPSDK pada Pemilu 2024. Koalisi juga mengharapkan agar Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI sebagai lembaga negara yang dimandatkan untuk menjalankan fungsi pengawasan, menegur KPU RI.
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih terdiri dari ICW, Perludem, Netgrit,THEMIS, Kopel, Public Virtue Research Institute, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalad, dan Greenpeace Indonesia . []