KPU Harus Revisi PKPU 10/2023

KPU Harus Revisi PKPU 10/2023
Image credit: rumahpemilu.org

Koalisi Kawal Keterwakilan Perempuan mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merevisi Peraturan KPU 10/2023. Ketentuan tentang pembulatan ke bawah dalam pencalonan perempuan DPR dan DPRD Pemilu 2024 ini bertentangan dengan Undang-Undang 7/2017 dan tidak sesuai dengan semangat afirmasi dalam konstitusi. Revisi PKPU amat mungkin mengingat pencalonan DPR/DPRD baru ditetapkan pada November 2023 serta prosedur uji publik PKPU yang tidak partisipatif.

“Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur soal pencalonan perempuan yang paling sedikit 30 persen,” tegas Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Huriyah pada konferensi pers daring (7/5).

Huriyah menjelaskan PKPU 10/2023 merupakan kemunduran dalam pemenuhan keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Dalam Pasal 8 ayat (2) tertuang klausul baru yang menyatakan bahwa penentuan keterwakilan perempuan di dalam pencalonan itu berdasarkan pembulatan angka ke bawah. Jika klausul ini diterapkan, dari beberapa simulasi, maka jumlah perempuan yang akan ada di dalam pencalonan itu tidak akan mencapai 30 persen

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menambahkan, pencalonan perempuan di daftar calon dan dapil DPR/DPRD berarti melanggar UU 7/2017, sehingga KPU harus merevisi PKPU ini. Frase “paling sedikit 30 persen” pencalonan perempuan, menjadi tidak terpenuhi. Merevisi PKPU 10/2023 agar bisa sesuai undang-undang, masih mungkin. KPU tidak bisa hanya menekankan pada tahapan pencalonan anggota DPR/DPRD Pemilu 2024 yang sudah berjalan tapi juga harus melihat akhir dari tahapan pencalonan.

“Tahapan pencalonan memang sudah dimulai. PKPU ini pun sudah berlaku dalam pencalonan. Tapi tahapan pencalonan Pemilu 2024 masih panjang. Baru berakhir November 2023,” jelas Khoirunnisa.

Berdasar simulasi, Khoirunnisa menggambarkan, dapil dengan jumlah kursi 4, 7, 8, dan 11 menjadi dapil yang paling terdampak dari PKPU 10/2023. Artinya, persentase perempuan di dapil ini sangat mungkin menjadi kurang dari 30 persen. Menurutnya, akan ada 38 dapil yang terdampak atau 45 persen dari 84 dapil DPR dengan total 580 kursi.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati mengatakan, PKPU 10/2023 mengabaikan jaminan hukum keterwakilan perempuan yang sudah ada. Yang dimaksud Mike bukan hanya UU 7/2017 tapi juga undang-undang dasar yang menjamin perlakuan khusus bagi perempuan.

Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI 1945 bertuliskan, Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.  

Aktivis perempuan politik, Wahidah Suaib, menguatkan bahwa PKPU 10/2023 mengabaikan perjuangan panjang kelompok perempuan. Anggota Bawaslu Pemilu 2009 ini mengingatkan bahwa ketentuan afirmasi perempuan yang sekarang tertuang dalam peraturan perundang-undangan bukan merupakan pemberian DPR dan partai politik.

“Sangat disayangkan jika KPU mempertahankan PKPU ini. Padahal anggota KPU sekarang merupakan para pemimpin di lembaga sebelumnya yang mengerti isu keterwakilan perempuan,” kata Wahidah.

Berbagai Pihak Harus Terlibat

Koalisi ini pun melibat para pihak seluas-luasnya. Di antaranya akademisi lelaki lintas isu sebagai aliansi dan juga perwakilan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA).

“Saat ini kita tidak sedang memperdebatkan keterwakilan perempuan. Ini kita sudah anggap tuntas. Yang ada saat ini adalah bahwa PKPU 10/2023 ini akan menghambat capaian keterwakilan sebagai apa yang kita anggap tuntas itu,” kata akademisi ilmu politik Universitas Samratulangi, Ferry Daud Liando.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum dan Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura menjelaskan, setidaknya ada dua penyikapan hukum dari PKPU 10/2023. Pertama, mempertanyakan serta memperdebatkan peraturan ini ke pembuatnya yaitu KPU. Kedua, judicial review ke Mahkamah Agung (MA).      

Perwakilan dari KPPA menghubungkan masalah PKPU 10/2023 ini dengan kebijakan adil gender di bidang lain. Menurutnya, meski masalah hukum ini ada di bidang pemilu, tapi akan berdampak buruk pada kualitas dan capaian kebijakan adil gender di bidang lain. KPPA menanyakan hal-hal yang KPPA bisa dukung dan hubungkan.

Charles berpendapat, meski judicial review ke MA tidak jadi langkah prioritas, KPPA bisa menjadi pihak terkait dalam upaya hukum ini. Selebihnya, menurut Charles,KPPA atau lembaga mana pun dengan segala mitra dan jaringan masyarakat sipilnya secara luas harus memperdebatkan KPU lalu berharap PKPU 10/2023 bisa direvisi.

Selain itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga sebagai bagian dari penyelenggara pemilu harus menjadi pihak yang mendesak KPU. Sebagai lembaga yang wajib melaksanakan undang-undang dalam mengawasi Pemilu 2024, Bawaslu juga harus sama berkesimpulan bahwa PKPU 10/2023 bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi darinya dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Sebelumnya, pada pemberitaan lain, Anggota KPU, Idham Holik menjelaskan dua hal (3/5). Pertama, Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 mengenai pembulatan ke bawah bagi koma yang di bawah 0,5, sudah sesuai dengan standar internasional matematika. Kedua, PKPU ini sudah melalui proses uji publik.

Mike mengklarifikasi, standar internasional matematika tidak relevan dalam pembahasan ini karena keluar dari keadaan PKPU yang melanggar undang-undang. Wahidah pun mengklarifikasi  bahwa proses uji publik PKPU 10/2023 dilakukan dalam proses yang tidak partisipatif. Padahal uji publik merupakan forum yang harus menyediakan waktu cukup untuk berbagai pihak mempelajari rancangannya.

“Yang sering terjadi, undangan dikirim hampir tengah malam H-1 untuk besok. Padahal PKPU punya banyak pasal yang harus dipelajari sebelum ditetapkan sebagai PKPU yang sah,” ujar Wahidah.

Koalisi Kawal Keterwakilan Perempuan terdiri dari ragam lembaga. Di antaranya: Puskapol UI, Pusako FH Unand, Election Corner Universitas Gajah Mada (UGM), Pusat Studi Kepemiluan Unsrat, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), KPI, Maju Perempuan Indonesia, Perludem, Netgrit dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. []

USEP HASAN SADIKIN