Pilpres Indonesia 2024, Jalan Sempit untuk Perempuan Capres Cawapres

Pilpres Indonesia 2024, Jalan Sempit untuk Perempuan Capres Cawapres
Image credit: rumahpemilu.org

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan ruang pencalonan pada pemilihan presiden (pilpres) di Indonesia merupakan ruang yang terbatas. Ambang batas pencalonan presiden yang mengharuskan pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden untuk mendapatkan dukungan dari minimal 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI atau 25 persen suara pada pemilihan anggota DPR RI terakhir membatasi jumlah paslon presiden dan wakil presiden.

“Sejak awal, kerangka hukum menutup pintu untuk membuka kesempatan secara lebih luas dengan adanya presidential threshold. Pasangan-pasangan capres hanya bisa diusulkan oleh segelintir partai,” ujar Isnur pada diskusi “Menguak Minimnya Capres dan Cawapres Perempuan" di Jakarta, Kamis (30/3).

Syarat yang berat untuk mengajukan paslon presiden dan wakil presiden, dinilai Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Nurul Amalia Salabi, sebagai hambatan bagi perempuan. Hanya sedikit perempuan yang memiliki posisi berpengaruh di partai politik, sehingga sulit untuk meyakinkan partai atau beberapa partai untuk mengusungnya sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Tak ada tindakan afirmasi apa pun dalam pemilihan eksekutif bagi perempuan, baik di pilpres maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).

Amalia juga menyebutkan bahwa perempuan mengalami hambatan di ruang kultur dan ruang publik. Berdasarkan hasil pemantauan Perludem terhadap delapan stasiun televisi berita nasional, televisi lebih banyak memberitakan politisi laki-laki daripada politisi perempuan. Dampaknya, politisi perempuan tidak sepopuler politisi laki-laki, dan publik lebih mengenal politisi laki-laki.

“Sebab perempuan politisi jarang diberitakan oleh media, bisa jadi media yang kurang punya perspektif gender, atau bisa juga karena partai jarang memberikan kesempatan bagi perempuan kadernya untuk bicara. Saat bicara soal politik dan pemilu, banyak sekali all male panel di televisi-televisi kita,” tandas Amalia.

Pakar hukum ilmu tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti mengatakan bahwa partai politik bahkan tidak mengusung kader partai dalam pencalonan di Pilpres. Beberapa nama bakal calon presiden yang muncul seperti Anies Baswedan dan Erick Thohir bukanlah kader partai. Belum ada keberpihakan dari partai terhadap politik perempuan jika dirasa tak menguntungkan partai.

“Jadi, bukan hanya soal perempuan atau laki-laki, tapi bahkan partai tidak mengutamakan kadernya sendiri,” tukas Bivitri.

Program officer INFID, Rizka Antika menekankan pentingnya narasi yang mengedukasi publik terkait gaya kepemimpinan perempuan. Pengalaman kebertubuhan perempuan yang berbeda dengan laki-laki membuat perempuan memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Kepemimpinan yang feminim lebih berhasil ketika berhadapan dengan krisis, dan perempuan banyak bekerja dengan metode kolaborasi.

 "Perlu dibuka ruang untuk varian baru dalam tipe karakteristik kepemimpinan, bahwa ada banyak gaya kepemimpinan, dan kepemimpinan yang feminim dari perempuan itu juga berhasil. Nah, ciri khas perempuan ini justru kekuatan perempuan,” tandas Rizka.