Melawan Disinformasi atau Memperketat Sensor?

Melawan Disinformasi atau Memperketat Sensor?
Image credit: rumahpemilu.org

Karena Pemerintah Indonesia terus menindak disinformasi politik, pengamanan harus dilakukan untuk memastikan bahwa Pemerintah tidak menyalahgunakan kewenangan anti-hoaksnya. Tren di Indonesia, telah menjadi bagian pada kemunduran demokrasi di seluruh dunia.

Dari Amerika, Brasil, hingga Hungaria, GDI menggambarkan disinformasi sebagai a  ‘global problem not contained by borders’ [permasalahan global yang tak terhalangi oleh batas-batas Negara]. Sejak Joko Widodo (“Jokowi’) memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2012 dengan didukung oleh kampanye media sosial yang sangat aktif, disinformasi telah memainkan perannya yang semakin besar dalam politik Indonesia. Tercatat dengan baik bahwa, tim kampanye media sosial berbayar yang dinamakan "buzzers", telah menjadi bagian integral dalam kampanye politik. Ini digunakan untuk menyebarkan disinformasi baik oleh petahana maupun pihak oposisi.

Di banyak yurisdiksi, pihak yang berwenang telah menanggapi meningkatnya disinformasi dengan memperkenalkan mekanisme yang memungkinkan pihak yang berwenang untuk menghapus konten yang membahayakan. Dalam beberapa kasus, kewenangan ini dapat dijalankan secara sepihak oleh pemerintah. Di Prancis dan Jerman memerlukan mekanisme dan perintah pengadilan..

Pemerintah Indonesia telah memiliki kewenangan serupa yang berasal dari 3 sumber. Pertama, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kedua, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor 5 Tahun 2020. Ketiga, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (segera diganti dengan ketentuan yang lebih kuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disahkan pada 6 Desember 2022).  Pemerintah dapat memblokir akses ke konten daring yang dipandang negatif, dan bahkan menuntut individu dengan pelanggaran seperti pencemaran nama baik atau pemerasan. Kewenangan ini telah digunakan dengan dalih menekan disinformasi dan akan diandalkan oleh pihak yang berwenang menjelang Pemilu 2024.

Sekilas, mekanisme penghapusan konten ini menarik. Hal ini merupakan tanggapan yang segera, nyata, dan langsung terhadap disinformasi politik. Akan tetapi, mekanisme ini juga berbahaya. Organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia telah memperingatkan bahwa upaya seperti ini telah dimanipulasi oleh para pemimpin poilitik untuk menyensor para aktivis dan kritikus. Pada awal 2017, Deklarasi Bersama PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan “Berita Palsu”, Disinformasi, dan Propaganda  [Joint Declaration on Freedom of Expression and “Fake News”, Disinformation and Propaganda] memperingatkan bahwa, ‘'larangan disinformasi dapat melanggar standar hak asasi manusia internasional' dengan menghalangi kebebasan berbicara.

Memang, sering terjadi dugaan penyalahgunaan kewenangan ini di Indonesia. Di antaranya yang dialami aktivis seperti Dandy Laksono, Veronica Koman dan Ravio Patra. Tiga orang ini telah ditangkap atas tuduhan disinformasi yang meragukan. Demikian pula warga biasa seperti SB dan AC.

Penangkapan yang agak distopia ini menekankan perlunya perlindungan untuk memastikan bahwa undang-undang antidisinformasi adalah kekuatan untuk kebaikan. Berikut adalah tiga langkah yang harus dipertimbangkan.

Dekriminalisasi 

Hukuman pidana untuk pelanggaran disinformasi harus ditentang dengan tegas. Sebagaimana diuraikan di atas, tindak pidana menimbulkan risiko pelanggaran hak asasi manusia yang parah oleh pihak berwenang.

Ada beberapa pendekatan alternatif untuk menghukum penyebar disinformasi. Hal ini termasuk menghapus postingan yang menyinggung, mendemonetisasi akun yang membagikannya, dan melarang pengguna mengakses platform media sosial sama sekali. Masing-masing masih dapat disalahgunakan oleh otoritas Pemerintah, tetapi skenario terburuk (dilarang dari platform media sosial) tidak terlalu menghina hak asasi manusia daripada tuntutan pidana.

Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa kriminalisasi disinformasi adalah pencegahan yang penting, dan tanggapan Pemerintah terhadap disinformasi akan lebih lemah tanpa ancaman tuntutan pidana. Namun, pencegahan tampaknya tidak terlalu efektif, mengingat betapa tersebarnya disinformasi. Sekalipun kriminalisasi memberikan pencegahan, risiko pelanggaran hak asasi manusia terlalu besar untuk memungkinkan kriminalisasi disinformasi yang berkelanjutan.

Mekanisme Peninjauan 

Bahkan jika tuntutan pidana dikecualikan dari kewenangan antidisinformasi Pemerintah, sensor otoriter terhadap kritik masih dimungkinkan. Oleh karena itu, perlindungan prosedural harus diterapkan untuk memastikan bahwa konten yang dihapus memang merupakan disinformasi, bukan ucapan yang sah. Idealnya, pengamanan ini akan mensyaratkan keputusan apa pun untuk ditinjau oleh pengadilan. Hal ini sebagaimana berdasarkan Undang-Undang Prancis yang disahkan pada 2018, yang mengizinkan penghapusan segera konten yang dianggap disinformasi, hanya jika penghapusan itu dikabulkan oleh pengadilan

Sebagai alternatif, keputusan ini dapat ditinjau oleh Bawaslu sebagai bagian dari perannya dalam mengawasi keputusan terkait pemilu oleh otoritas Pemerintah. Namun, fakta bahwa calon anggota Bawaslu memerlukan pencalonan presiden dan persetujuan DPR dapat meningkatkan risiko pengaruh partisan yang dirasakan atau aktual.

Tindakan transparansi juga dapat mengurangi risiko dihapusnya konten yang sah. Daftar aktif konten yang telah dihapus atau sedang ditinjau akan memberdayakan masyarakat sipil, media, dan publik untuk memantau keabsahan keputusan penghapusan disinformasi (seperti yang telah dicoba untuk dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen). Akan tetapi, transparansi hanyalah setengah upaya, perlindungan tinjauan yang tegas adalah komponen penting dari mekanisme penghapusan disinformasi yang adil.

Aktivasi Publik 

Dua lapis pertama pengamanan tersebut tentunya tidaklah cukup. Bahkan jika perintah pengadilan maupun peninjauan Bawaslu diperlukan, kemungkinan besar Pemerintah hanya akan berusaha menghapus disinformasi anti-Pemerintah, dan membiarkan disinformasi pro-Pemerintah tak tersentuh.

Oleh karena itu, langkah ketiga menuju undang-undang antidisinformasi yang adil adalah bahwa undang-undang tersebut harus terbuka untuk aktivasi publik. Jika aktivis, organisasi masyarakat sipil, dan warga negara sama-sama diberdayakan untuk mengaktifkan undang-undang, maka akan terjadi penurunan risiko bahwa hanya disinformasi anti-Pemerintah saja yang akan menjadi sasaran. 

Pengamanan ketiga ini memerlukan proses peninjauan konten yang sederhana dan mudah diakses, sehingga organisasi atau warga negara dapat memulai proses dengan layak tanpa biaya atau penundaan waktu yang berlebihan. Sederhananya, siapa pun harus dapat menggunakan mekanisme penghapusan konten yang dibahas di atas, bukan hanya Pemerintah.

Kembali ke undang-undang anti-disinformasi Prancis, sangat dianjurkan bahwa setiap individu atau kelompok diberdayakan. Tujuannya adalah untuk memulai proses pengadilan dalam menghapus disinformasi, termasuk, misalnya, partai oposisi. []

OSCAR PEARCE

Artikel ini diterjemahkan oleh Catherine Natalia.

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Lihat Semua Post