Tantangan Kampanye di Media Sosial

Tantangan Kampanye di Media Sosial
Image credit: rumahpemilu.org

Larry Diamond dalam Liberation Technology, Social Media and the Struggle for Democracy memandang bahwa media sosial merupakan teknologi yang berperan dalam liberation atau pembebasan di Timur Tengah, serta perluasan ruang publik di Cina dan Malaysia. Media sosial memfasilitasi masyarakat untuk bersuara, berpartisipasi, bahkan memobilisasi diri untuk perubahan. Di Myanmar, media sosial digunakan oleh para aktivis dan jurnalis untuk melawan represi rezim otoriter militer. Media sosial yang menyambungkan warga dari seluruh dunia, memungkinkan gaung suatu narasi untuk didengar lebih luas, dan terbangunnya suatu gerakan solidaritas.

Namun demikian, Christian Fuchs yang memilih membahas media sosial dari perspektif ekonomi politik menulis bahwa sekalipun media sosial membuka ruang publik yang lebih luas, namun hal tersebut ditujukan untuk menampung sebanyak mungkin informasi dan data para pengguna, untuk tujuan komodifikasi. Media sosial memanfaatkan big data pengguna untuk mendapatkan keuntungan dari periklanan, yang tentunya mengancam keamanan data pribadi pengguna.

Big data inilah yang disebut oleh Mark Andrejevic (2013) sebagai alat pengawasan terhadap warga negara, konsumen, sekaligus pekerja. Vincent Mosco (2014) bahkan menyebut big data yang dikumpulkan oleh media sosial dan dibeli oleh negara sebagai kombinasi dari "kapitalisme pengawasan" dan "negara pengawasan".

Kasus Cambridge Analytica dimana Facebook menjual data pengguna kepada Trump pada 2018 menjelaskan dengan baik kerangka hubungan media sosial sebagai bisnis informasi dan data, dengan big data yang digunakan sebagai basis iklan bertarget untuk pemenangan pemilu.

Media sosial dan tantangan Pemilu Indonesia 2024

14 Desember 2022, KPU telah menetapkan 17 partai politik peserta pemilu nasional, dan 6 partai politik lokal Aceh. Namun, meski telah ditetapkan, masa kampanye baru akan dimulai pada 28 November 2023. Partai terancam pidana di luar jadwal jika melakukan kegiatan yang menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu di luar tanggal 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.

Pegiat pemilu, Titi Anggraini, menilai partai politik tak akan menunggu 28 November 2023 untuk mendekati pemilih. Bahkan, politisi yang hendak maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden telah memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan elektabilitas. Media sosial akan menjadi opsi untuk membangun popularitas, menjangkau pemilih, dan mengubah citra diri.

“Masuk di sini ruang potensi aktor-aktor yang mengambil oportunisme. Buzzer akan ada di situ. Makanya perlu sekali platform media sosial mengambil peran di situ. Karena, platform juga kan mendapatkan insentif dari penyelenggaraan pemilu,” tandas Titi pada diskusi “Building The Resilience of Digital Democracy ahead of the 2024 Elections” (14/12).

Peran yang bisa diambil oleh platform media sosial ialah membuka data seluruh iklan politik di Indonesia sejak ditetapkannya partai politik peserta Pemilu 2024, yakni 14 Desember 2022. Data tersebut penting untuk disampaikan kepada publik, sebagai bentuk transparansi iklan politik yang memiliki dampak terhadap Pemilu 2024.

Dari platform Meta, Twitter, Youtube/Google, dan Tiktok, hanya Meta yang mengizinkan adanya iklan politik di Facebook. Sejak 2020, Meta menyediakan Facebook Ads Library untuk mentransparansi iklan yang beredar di platform Meta.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh konsorsium European Partnership for Democracy, Facebook Library Ads kerap tidak memuat semua iklan politik. Repositori iklan yang kurang komprehensif menyebabkan hal tersebut. Facebook Ads Library juga belum mentransparansi sipaya yang membiayai iklan politik, dan kepada siapa saja iklan tersebut ditampilkan.

Transparansi iklan politik di media sosial lebih krusial, karena tak seperti halnya iklan di media lainnya yang ditampilkan kepada publik yang lebih luas, iklan di media sosial dapat disesuaikan dengan kelompok orang tertentu, yang berpotensi mempolarisasi basis pemilih dan mendistorsi debat politik.

European Partnership for Democracy merinci standar bagi Ads Library yang dapat diatur oleh suatu regulasi untuk meningkatkan tanggungjawab media sosial. Pertama, pengungkapan jumlah biaya iklan yang sesungguhnya, bukan rentang biaya iklan. Kedua, informasi pengiklan yang akurat dan lengkap, namun menjaga kerahasiaan data pribadi. Informasi tentang pihak ketiga dan kandidat atau partai politik perlu dirinci di Ads Library dan bagian disclaimer. Informasi tentang entitas pendanaan juga harus diungkapkan dan diverifikasi, termasuk nomor pokok wajib pajak pengiklan.

Ketiga, pengungkapan mekanisme penargetan dan kriteria penargetan. Platform sedianya menyertakan sasaran penargetan yang dipilih oleh pengiklan.

Keempat, jumlah pengguna media sosial yang dijangkau oleh suatu iklan. Kelima, iklan yang dilarang harus tetap dipublikasi dalam repositori iklan demi pengawasan publik. Penjelasan terkait mengapa suatu iklan dihapus jiuga dinilai penting.

Di Indonesia, menurut Titi, aturan terkait kampanye di media sosial belum memadai. Pendekatan yang digunakan sebatas membatasi kepemilikan akun media sosila peserta pemilu.

“KPU masih mengatur pada ranah yang sangat tradisional, yaitu membatasi kepemilikan akun di setiap media sosial maksimal 10 akun,” tukas Titi.

Pengalaman Filipina

Di Filipina, terdapat undang-undang yang mewajibkan pengguna media sosial untuk mendaftarkan identitas hukum dan nomor telepon saat pengguna membuat akun baru. Aturan ini bertujuan untuk menghapus anonimitas di media sosial yang kerap menyebar disinformasi, ujaran kebencian, dan digunakan sebagai trolls. Namun, belum ada kajian yang memeriksa efektivitas regulasi tersebut terhadap kampanye sehat di media sosial pada Pemilu Filipina 9 Mei 2022.

Laporan program Undercover Asia, jasa troll bisa disewa sebagai tantara bayaran dalam perang media sosial di Pemilu Filipina. Dari wawancara dengan salah satu troll, tugas yang diberikan ialah mempromosikan politisi tertentu, membagikan konten disinformasi minimal 150 kali sehari, dan bergabung dengan grup yang memiliki lebih dari 3.000 anggota. Operasi ini dilakukan lebih dari satu tahun sebelum pemilihan.

Upah jasa troll yang diberikan lebih tinggi dari tingkat upah rata-rata bulanan masyarakat Filipina di tahun 2020. Kebanyakan troll merupakan orang yang bekerja di industri iklan, public relation, produksi konten, bahkan mantan jurnalis.

Rappler melaporkan bawah presiden terpilih, Bong Bong Marcos, menghabiskan lebih dari 623 juta peso, terbanyak dari semua kandidat. Biaya tersebut di luar pengeluaran untuk iklan kampanye di Facebook yang tidak dilaporkan oleh Bong Bong Marcos. Facebook Ads juga tidak merinci total uang yang dikeluarkan kandidat untuk menghasilkan iklan politik di platform Facebook.

Ketidakterbukaan biaya kampanye di media sosial menambah sulit penelusuran terhadap kampanye ilegal yang dilakukan kandidat. Terlebih, aturan hukum mengenai dana politik juga belum kuat. 1 dari 4 kandidat pemilu nasional tidak menyerahkan laporan dana kampanye kepada Comelec, khususnya kandidat yang tidak memenangkan kursi.

Tantangan Pemilu Indonesia 2024 tidak hanya bagaimana merekayasa agar media sosial menjadi ruang publik yang sehat demokrasi dan tidak mendisrupsi informasi bagi pemilih, tetapi juga menguatkan regulasi pelaporan dana kampanye di ruang digital, dan mendorong transparansi iklan politik oleh platform media sosial. []

AMALIA SALABI

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Amalia Salabi is a researcher at Perludem and electionhouse.org organizer. Amalia has an interest in women's issues, alternative politics, Islamic politics, election technology, and digital campaigns. Amalia's work can be read at Perludem.org. She loves read and watching movies.
Lihat Semua Post