Universitas Brawijaya, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyelenggarakan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) VII pada 1-3 Desember 2022 di Batu dan Malang, Jawa Timur. Mempertemukan guru besar, akademisi, mahasiswa, serta aktivis bidang hukum dan politik, implementasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dievaluasi menyertakan penulisan artikel jurnal ilmiah yang akan dipublikasikan dalam The Asia-Pacific Journal of Elections and Democracy (APJED).
“Setelah berjalan 20 tahun, makin terasa bahwa undang-undang dasar kita masih memiliki banyak kelemahan,” ujar Profesor Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran (Unpad), Susi Dwi Harijanti, Batu (1/12), membacakan orasi ilmiah yang berjudul “20 Tahun Mempertahankan Konstitusi Hasil Reformasi” dalam pembukaan KNHTN VII.
Susi menjelaskan, keadaan Indonesia mirip dengan negara lain yang mengubah konstitusinya setelah menumbangkan rezim otoriter. Karena disebabkan ketidakadilan masa lalu, maka terjadi pembentukan atau perubahan konstitusi yang tidak disertai konsep jelas. Namun, mengingat begitu fundamentalnya konstitusi, khususnya negara berstransisi demokrasi, maka baik pembentukan dan perubahan konstitusi harus berdasarkan pada prosedur demokratis yang semaksimal mungkin melibatkan rakyat.
Profesor Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra berpendapat, salah satu ketidakjelasan konsep perubahan konstitusi pasca-Reformasi adalah dalam memilih sistem pemerintahan. Amendemen berkeinginan presiden punya kewenangan yang besar jangan sampai menjadi otoriter. Tapi keinginan ini tidak cukup dituliskan dalam konsep sistem presidensial, parlementer, atau campuran.
“Konstitusi sama sekali tidak pernah menyebutkan bagaimana kekuasaan presiden diisi dalam konteks dikaitkan daulat rakyat, yaitu pemilu,” ujar Hakim Mahkamah Konstitusi ini (2/12).
Profesor UNSW-Australia, Rosalind Dixon menjelaskan, ada banyak implikasi kuat dari implementasi konstitusi pascaamendemen. Menurutnya, melalui Mahkamah Konstitusi, ketentuan dan implementasi konstitusi sudah bisa menjamin inti minimal demokrasi dan melindungi dari ancaman serius martabat manusia. Tapi, belakangan, di pemilu presiden serta dengan keserentakan pemilu legislatif, jaminan dan perlindungan ini malah bermasalah. Di antaranya soal identitas penduduk yang berimplikasi pada hak pilih, pembentukan dan kepesertaan pemilu bagi partai politik, pemilu serentak, antikorupsi, sistem pemilu, ambang batas pencalonan, calon perseorangan, dan lainnya. Sebagian implementasi ini dalam undang-undang menggambarkan kemunduran demokrasi.
Keadaan hukum tentang kelembagaan demokrasi itu, diperburuk dengan kualitas putusan dari pengujian ketentuan undang-undang. Setidaknya Dixon mengusulkan dua hal untuk mengatasinya. Pertama, pemenuhan prasyarat lembaga peradilan: mandiri, kelembagaan yang mendukung, dan perbaikan budaya hukum. Kedua, peningkatan kapasitas hakim dan sumber daya lembaga peradilan.
Direktur eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati menekankan (1/12) pentingnya memperbaiki sistem presidensial yang sudah dipilih konstitusi melalui perubahan ketentuan pemilu yang sesuai. Pengalaman Perludem yang beberapa kali melakukan uji materi undang-undang kepemiluan ke Mahkamah Konstitusi, lebih banyak yang belum dikabulkan. Di antaranya mengenai variabel sistem pemilu yang berkaitan dengan kekuasaan presiden dan lembaga legislatif. Ada juga putusan yang menghasilkan pilihan model keserentakan untuk perbaikan presidensialisme Indonesia, tapi belum direspon pembuat undang-undang, meski putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Muchamad Ali Safa’at dalam pembukaan kegiatan juga mengatakan (1/12), hukum tata negara jika tidak mengikuti perhelatan politik, tidak akan berkembang. Doktor bidang hukum tata negara ini bersyukur, melalui konferensi hukum ini, ada 150-an makalah yang masuk berasal dari ragam kampus Indonesia dengan multidisiplin ilmu, termasuk ilmu politik. Harapannya, pertemuan pakar tata negara dengan pemakalah yang sebagian besar merupakan generasi muda, bisa menjadi harapan perbaikan hukum Indonesia.
Direktur eksekutif Pusako, Feri Amsari mengatakan, rangkaian seminar dan diskusi serta banyak makalah dalam KNHTN VII, membahas isu aktual. Di antaranya adalah perkembangan pemilu dan pilkada pasca-Reformasi, pembatasan kekuasaan dan kinerja lembaga negara, perlindungan demokrasi dan independensi Mahkamah Konstitusi, otonomi daerah, dan lembaga-lembaga mandiri dalam konstitusi.
Ada 40 makalah yang dipresentasikan dan didiskusikan dalam KNHTN VII. Makalah-makalah ini akan ditindaklanjuti untuk masuk dan dipublikasikan Perludem melalui APJED. Ini merupakan jurnal ilmiah multidisiplin yang membahas berbagai aspek pemilu dan demokratisasi yang dikelola Perludem melalui dukungan program regional, Respect.
Dalam rumusan kegiatannya, APJED punya tujuan utama yaitu membangun ekosistem pengetahuan yang relevan bagi civitas akademika, pembuat kebijakan, dan aktivis prodemokrasi. Selanjutnya, APJED dimaksudkan untuk menjadi ekosistem pengetahuan bagi berbagai disiplin ilmu seperti ilmu politik, ekonomi, antropologi, budaya, hukum, dan gender serta berbagai disiplin ilmu lain yang terkait dengan isu pemilu dan demokrasi. KNHTN VII menjadi momen kolaborasi yang sesuai dalam pencapaian reformasi hukum melalui penulisan dan publikasi jurnal.
KNHTN VII juga melibatkan pakar, guru besar, dan akademisi lainnya. Di antaranya adalah Jimly Asshiddiqie, Abdul Mukthie Fadjar, Moh. Fadli, Djayadi Hanan, Fitra Arsil, Aan Eko Widyarto, Milda Istiqomah, Cheryl Saunders, I Dewa Gede Palguna, Ni'matul Huda, Charles Simabura, Tom Ginsburg, Dhia Al Uyun, Yance Arizona, Indah Dwi Qurbani, Titi Anggraini, dan lainnya. []
USEP HASAN SADIKIN