Alert! Dis/Misinformasi Beformat Video di Pemilu 2024

Alert! Dis/Misinformasi Beformat Video di Pemilu 2024
Image credit: rumahpemilu.org

13 Juli 2018, tiga orang menjadi korban amukan massa yang terprovokasi oleh misinformasi dalam bentuk video yang beredar di WhatsApp terkait adanya segerombolan orang yang membagikan permen untuk menculik anak-anak di desa. Kejadian tersebut bukanlah yang pertama. Misinformasi di WhatsApp telah mengambil nyawa dua lusin warga India di semester pertama tahun 2018 saja.

22 Mei 2019, disinformasi bertubi-tubi di sepanjang tahapan pemilu Indonesia bahwa pemilu curang menghantarkan ribuan massa turun ke depan gedung Bawaslu RI. 6 orang tewas dalam kericuhan.

Selanjutnya 6 Januari 2021, dis/misinformasi dan narasi provokasi menyebabkan sekumpulan orang menyerbu gedung Capitol Amerika Serikat pasca diumumkannya hasil pemilu presiden. 5 orang tewas dalam kerumunan.

Kejadian-kejadian tersebut, ditambah kasus pemilu Kenya 2022, menunjukkan bahwa dis/misinformasi bukan hanya soal kebohongan yang disebar, namun punya potensi mematikan. Disinformasi merupakan serangan digital yang bahkan mungkin lebih merusak dari serangan digital lainnya terhadap pemilu.

Disinformasi berformat video telah beredar jelang Pemilu 2024

Banyak kata kunci yang bisa digunakan untuk men-tracking disinformasi pemilu2024 di media sosial. Beberapa tagar bisa jadi pemudah, seperti #pilpres2024, #pemilu2024, dan #pemilucurang. Atau bisa masukan juga nama politisi terkenal sebagai tagar.

Di Youtube misalnya, saya menemukan adanya pola konten disinformasi yang dipublikasi oleh beberapa channel Youtube. Pertama, video disinformasi mengandung penggalan beberapa klip dari media pers dan podcast influencer politik. Kedua, statement yang dipenggal dari seorang influencer politik atau tokoh ternama diambil untuk memperkuat teori konspirasi kecurangan pemilu. Ketiga, digunakannya tagar #beritaterbaru #beritaterkini #kabarviral dan sejenisnya, yang sepertinya dibuat untuk meningkatkan viralitas konten. Beberapa channel penyebar video disinformasi bahkan mengambil nama yang mengesankan diri sebagai media kredibel, seperti Kabar Aktual Official dan UPDATE.

Pola tersebut sedikit bergeser dari video disinformasi di Pemilu 2019 (meskipun pada 2019, sudah ada sedikit video editan penggalan beberapa klip media dengan narasi konspirasi). Di Pemilu 2019, banyak disinformasi dalam video amatir. Contohnya, video amatir seseorang yang terkesan membuktikan ada kecurangan dalam Sistem Informasi Penghitungan atau Situng KPU. Atau juga video amatir rekaman rapat yang mengatakan server KPU ada di Singapura. Saat ini, video-video yang beredar merupakan video yang dikemas seperti liputan berita, sebuah upaya yang tentunya memerlukan effort lebih besar untuk memenggal klip, membuat narasi, dan mengedit video.

Tagar yang digunakan pada video dis/misinformasi pada Pemilu 2019 juga terang-terangan menyesatkan pemilih dengan framing pemilu curang. Tagar #KPUcurang #kpusalahimputdata #kputdkmainreal digunakan. Tagar ini kemungkinan besar akan digunakan lagi di Pemilu 2024.

Hal baru lain juga jadi tantangan. Studi Institute for Strategic Dialogue (ISD) November 2022 menunjukkan bahwa ada banyak disinformasi yang disebar melalui video pendek di Instagram, Youtube, dan Tiktok. Bahkan, dis/misinformasi juga disampaikan oleh influencer dalam video live streaming. Tentu tidak mudah melakukan debunking terhadap video, apalagi video live streaming.

Di Pemilu Filipina 2022, banyak influencer dan pendukung Bong Bong Marcos yang menggunakan strategi video live streaming untuk menyebarkan dis/misinformasi. Tidak ada upaya efektif yang bisa ditiru untuk Indonesia.

Video pendek berisi disinformasi pemilu juga dapat ditemukan di Youtube dan Tiktok. Indonesia harus berhati-hati, sebab popularitas konten video pendek terus meningkat. Menurut Search Engine Journal, video YouTube Shorts ditonton sebanyak 30 miliar per hari pada kuartal pertama 2022, naik empat kali lipat dari kuartal pertama 2021. Belum lagi dengan popularitas Tiktok dan Reel Instagram.

Menurut riset Shyam Sundar, Maria D Molina dan Eugene Cho, disinformasi dalam format video lebih dipercaya publik daripada disinformasi berbentuk teks dan audio. Dorongan untuk "percaya apa yang Anda lihat" dan “Jika sesuatu tampak nyata, maka itu kredibel” membuat video menjadi bentuk manipulasi yang lebih berbahaya. Singkatnya, video memberikan efek psikologis yang lebih kuat, terutama apabila kita merasa terlibat atau tertarik pada isunya. Berbeda dengan informasi dalam format teks dan audio dimana kita harus membayangkan sebuah realitas.

Meramu resep tangkal disinformasi berformat video

Mungkin kita bertanya, apa yang dilakukan oleh platform media sosial terhadap konten-konten berisi dis/misinformasi, ujaran kebencian dan hasutan. Juga, mungkin bertanya, apa yang disiapkan platform untuk menghambat viralitas sebuah konten yang banyak dimanfaatkan untuk menyebar informasi palsu.

Cari-cari gagasan baru, sebagai langkah awal, evaluasi moderasi konten secara berkala penting dilakukan. Platform juga harus memprioritaskan laporan dis/misinformasi dalam sebuah konten video. Meninjau sebuah video is a time-intensive work. Solusi teknologi barangkali dibutuhkan.

Selain itu, platform juga baiknya memiliki tim khusus untuk memonitor tagar pemilu yang dibuat untuk menipu pemilih dan mendiskreditkan proses dan hasil pemilu. Tagar konspirasi kecurangan pemilu selalu ada di pemilu mana pun saat ini, dan menjadi celah moderasi konten yang telah dilakukan platform. Konten berbahaya yang tak dimunculkan dalam pencarian kata kunci tertentu, masih bisa ditemukan apabila pengguna mencari menggunakan tagar. 

Resep lainnya yang bisa dicoba ialah melakukan gerakan monitoring dis/misinformasi di media sosial, termasuk melaporkan apabila menemukan disinformasi di platform tertutup seperti WhatsApp. Monitoring dis/misinformasi memerlukan sumber daya besar yang melibatkan banyak orang. Kaum muda dapat diajak terlibat dan mendapatkan pelatihan identifikasi konten dis/misinformasi, dan cara melaporkan.

Resep terakhir, lagi-lagi, adalah memberikan literasi pemilu. Penelitian Sundar, Molina dan Cho menunjukkan peran penting pengetahuan seseorang terhadap pengaruh disinformasi. Semakin seseorang terlibat dan memiliki pengetahuan terkait suatu isu, ia akan semakin kritis dalam menerima informasi.

Dalam upaya literasi pemilu di daerah pedesaan, dimana masyarakat mendapatkan informasi lebih banyak dari media tradisional, seperti televisi, radio, surat kabar lokal dan informasi dari mulut ke mulu, peran media sangatlah menentukan. Media tidak bisa menyajikan informasi pemilu sebatas kontestasi, tetapi harus menyediakan informasi mengenai proses pemilu. Media tradisional adalah sumber informasi utama masyarakat di daerah pedesaan. Literasi pemilu akan efisien dan efektif jika media ikut berperan. []

AMALIA SALABI

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Amalia Salabi is a researcher at Perludem and electionhouse.org organizer. Amalia has an interest in women's issues, alternative politics, Islamic politics, election technology, and digital campaigns. Amalia's work can be read at Perludem.org. She loves read and watching movies.
Lihat Semua Post