Evaluasi Pemilihan Anggota Komisi Pemilu

Evaluasi Pemilihan Anggota Komisi Pemilu
Image credit: rumahpemilu.org

Pada 2022, kemandirian penyelenggara pemilu di Filipina dan Indonesia mengalami tantangan kepercayaan. Masyarakat yang berperhatian terhadap pemilu di dua negara ini, mempermasalahkan pemilihan anggota komisi pemilihan umum. Proses dan hasil pemilihan keanggotaan Commission on Elections (Comelec) di Filipina dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia, memperpanjang perbincangan kemandirian penyelenggara pemilu yang biasa hadir saat pergantian anggota atau pun pergantian pemerintahan melalui pemilu.

"Secara umum, saat penyelenggara pemilu mendapat kepercayaan yang rendah dari masyarakat, model penyelenggara pemilu mandiri bisa mengatasinya. Ini terutama berkalu di negara-negara demokrasi berkembang, di antaranya Filipina dan Indonesia," kata Program Manager International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA), Adhy Aman (21/10).

Di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte dengan hak prerogatifnya, memilih anggota Comelec untuk mengisi tiga kursi kosong lembaga penyelenggara pemilu ini. Salah satu yang dipilih bernama George Erwin Garcia.

Nama Garcia dipermasalahkan aktivis demokrasi Filipina. Alasannya, Garcia merupakan pengacara yang mewakili Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. dalam protes pemilihan Pemilu Wakil Presiden pada 2016. Pada Pemilu Filipina 2022 ini, salah satu calon wakil presidennya adalah Bongbong Marcos. Jejak rekam Garcia dan kepesertaan Bongbong Marcos dianggap aktivis demokrasi telah mengurangi kemandirian Comelec.

Selain itu, kewenangan Presiden Duterte yang memilih Garcia pun telah mengurangi kemandirian Comelec karena adanya nama Sara Duterte sebagai calon wakil presiden Pemilu Filipina 2022. Sara Duterte merupakan putri dari Presiden Duterte. Comelec dinilai akan cenderung bias untuk lebih membela bahkan mungkin memenangkan Bongbong Marcos-Sara Duterte, sebagai pasangan yang memimpin pemerintahan Filipina 2022-2028.

Di Indonesia, pemilihan anggota KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 2022 menjadi momen yang menggambarkan bagaimana kekuasaan legislatif, bisa memaksakan seleranya. Nama-nama anggota yang terpilih merupakan nama-nama yang sama persis dengan info yang lama beredar sebelum uji kelayakan dan kepatutan dimulai.  Proses panjang tahapan, banyak waktu, dan mahal anggaran dari pergantian anggota penyelenggara pemilu itu menjadi sia-sia.

UU 7/2017 tentang pemilihan umum, tampak kurang diimplementasi dengan baik. Segala kejanggalan terakumulasi. Mulai dari komposisi wakil Pemerintah dalam Tim Seleksi yang melanggar hukum, banyak nama calon yang punya kualitas dan pengalaman hebat malah tidak lulus, penilaian Tim Seleksi yang tertutup, wawancara Tim Seleksi yang bias serta tendensius, dan DPR yang memilih tanpa voting.

Komisi mandiri

Filipina dan Indonesia, punya kemiripan dalam kerangka hukum dan bentuk lembaga penyelenggara pemilu. Dua negara ini, secara tegas dan nyata menjamin keberadaan komisi pemilihan umum dalam hukum tertingginya, konstitusi. Jaminannya lengkap dengan kata sifat “independen” atau “mandiri”.

Filipina menempatkan Commission on Elections ada dalam Article IX 1987 Constitution. Comelec dijamin bersifat independen dalam undang-undang dasar Filipina ini sebagai Constitutional Commissions. Comelec kuat setara dengan komisi konstitusional lainnya bersama lembaga independen lainnya yaitu, Civil Service Commission dan Commission on Audit.

Di Indonesia, KPU dijamin keberadaannya dalam Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945. Berbeda dengan konstitusi Filipina yang menulis lebih tegas dengan huruf kapital (Commission on Elections), komisi pemilu di Indonesia ditulis dengan redaksi “komisi pemilihan umum”. Sifat kemandirian lembaga penyelenggara pemilu ini pun dijamin dengan kata sifat “mandiri” bersama kata sifat lain, “nasional” dan “tetap”.  

Berdasarkan studi perbandingan di banyak negara, International IDEA menyimpulkan, lembaga penyelenggara pemilu dengan fungsi mensupervisi, mengadministrasikan, dan mengelola pemilu yang bebas dan adil akan menumbuhkan kepercayaan dalam proses dan hasil pemilu serta meningkatkan prospek konsolidasi demokrasi. Meski tidak mengharuskan penyelenggara pemilu dituliskan dalam undang-undang dasar suatu negara, lembaga riset kepemiluan internasional ini menjelaskan, jaminan lembaga penyelenggara pemilu pada kerangka hukum tingkat konstitusi membuat sifat kemandirian yang profesional dan berintegritas bisa lebih menjamin kepercayaan proses dan hasil pemilu (Dunne, 2012).

Model penyelenggara pemilu

International IDEA pun membagi tiga model lembaga penyelenggara pemilu. Pertama, Independent Model. Kedua, Governmental Model. Ketiga, Mixed Model (Catt, 2014).

Independent Model berarti punya sejumlah aspek kemandirian. Kemandirian yang ditekankan International IDEA di antaranya adalah kewenangan membuat peraturan, komposisi keanggotaan bukan dari unsur pemerintahan (triaspolitika), masa jabatan kerja penyelenggara yang pasti, dan penganggaran yang menjamin siklus kepemiluan.

Lalu bagaimana pengertian Governmental Model dan Mixed Model? Penjelasan singkatnya yaitu: semakin banyak aspek-aspek tersebut diintervensi oleh pemerintahan (triaspolitika), maka model lembaga penyelenggara pemilu semakin menjadi Governmental Model. Lalu, semakin banyak aspek-aspek tersebut dicampurkan mana yang diintervensi oleh pemerintahan, dan aspek mana yang mandiri (nonpemerintah), maka ini akan menjadi Mixed Model.

Berdasar konsep dan pembagian model lembaga penyelenggara pemilu tersebut, kita bisa menilai, relevansi posisi komisi pemilu Filipina dan Indonesia dalam aspek pemilihan anggotanya. Anggota Comelec Filipina dipilih oleh presiden sebagai wujud kekuasaan eksekutif. Lalu anggota KPU Indonesia dipilih oleh DPR sebagai wujud kekuasaan legislatif. Dalam aspek mekanisme pemilihan ini, apakah tepat jika Comelec Filipina dan KPU Indonesia masuk dalam model Independent Model?

Aktivis pemilu Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay berpendapat, Comelec Filipina dan KPU Indonesia, dari segala aspeknya, secara umum memang masuk Independent Model. Tapi, lembaga penyelenggara pemilu di dua negara ini, tidak mandiri pada aspek mekanisme pemilihan anggota.

Agar Comelec Filipina dan KPU Indonesia seutuhnya menjadi lembaga penyelenggara pemilu yang masuk Independent Model, ada sejumlah ketentuan hukum yang perlu diubah. Di antaranya adalah dalam aspek mekanisme pemilihan. Jangan lagi bagian triaspolitika mengintervensi penentuan pemilihan keanggotaan Comelec Filipina dan KPU Indonesia. []

USEP HASAN SADIKIN

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)