4 Hal Harus Jadi Perhatian Pemilu Indonesia 2024

4 Hal Harus Jadi Perhatian Pemilu Indonesia 2024
Image credit: rumahpemilu.org

Ross Tapsell, pengajar senior Australian National University, mengatakan ada empat hal yang menjadi perhatian para pengamat terhadap Pemilu Indonesia tahun 2024. Pertama, apakah kampanye pemilu Indonesia akan diisi oleh isu-isu kebijakan publik. Pemilu Filipina dan Malaysia 2022 minim diskusi  isu kebijakan publik di antara peserta pemilu.

“Pemilu Indonesia 2019, tidak ada pembahasan yang mendalam mengenai isu kebijakan publik. Kita tidak mengetahui perbedaan kedua kandidat presiden terkait banyak isu kebijakan publik, meskipun kelihatannya ada perbedaan ideologi. Jokowi seorang reformis demokrat, sementara Prabowo mendorong populisme Islam. Nah, seperti apa kampanye pemilu di 2024 nanti?” pungkas Ross pada diskusi daring “The Growth of Civic Tech and Online Campaign, a Way to Bring Democracy Closer to People,” pada Jumat (2/9).

Menurut Ross, ada dua Langkah yang bisa diambil oleh politisi di Indonesia untuk membeda dari politisi lainnya, yakni mengambil sikap berbeda atas suatu isu kebijakan publik, atau mengidentikkan diri dengan identitas tertentu, seperti Islam atau nasionalis.

Hal kedua yang jadi perhatian ialah apakah kampanye digital di pemilu Indonesia akan banyak dilakukan oleh buzzer, influencer yang dibayar, buzzer, cybertroopers, dan trolls. Di pemilu Filipina dan Malaysia 2022, para tenaga kerja digital tersebut mengarahkan percakapan di media sosial dengan isu-isu non kebijakan publik.

“Pastikan narasi selama kampanye pemilu didominasi oleh masyarakat sipil dan publik, bukan oleh buzzer dan influencer yang dibayar,” tandas Ross.

Terkait kampanye digital, Ross mengingatkan agar Indonesia membuat regulasi untuk mengaturnya.      Pengeluaran kampanye untuk buzzer, influencer, dan cybertoops harus dapat ditelusuri oleh pihak berwenang, dan dilaporkan oleh para peserta pemilu.

“Indonesia harus memastikan bahwa semua orang dan semua kandidat memiliki akses yang setara terhadap digital labor, karena kandidat dengan uang banyak akan mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja untuk melakukan kampanye digital, seperti buzzer dan influencer,” tukas Ross.

Menurutnya, politisi akan menggunakan semua platform media sosial untuk berkampanye. Namun, Tiktok tidak akan mempengaruhi pemilu secara signifikan, sebagaimana banyak orang mengatakan pemilu akan berbeda tanpa Tiktok. Tiktok hanya soal konten yang dikemas dalam format video.

Hal ketiga, yakni aturan mengenai media dan kepemilikan media di Indonesia. Ross meminta publik dan pembuat kebijakan tak meremahkan pengaruh kepemilikan media terhadap politik. Pemilik media yang memiliki hubungan dengan politisi, bahkan kasus Indonesia, ketua umum partai memiliki perusahaan media, membuat kompetisi pemilu tak berjalan seimbang.

“Ini soal industri kampanye media yang sedang berkembang di Indonesia, dan bagaimana mengaturnya. Kita tidak seharusnya meremehkan pengaruh kepemilikan media atau media tycoon, dan hubungan antara pemilik media dengan politisi. Juga, fenomena hari ini, media sosial dan media mainstream mengarahkan dan bertautan satu sama lain. Kita sering melihat laporan berita yang mendorong liputan akun media sosial, dan liputan media sosial yang mendorong laporan berita. Jadi, kita tidak boleh menganggap media arus utama dan media sosial terpisah dari ranah digital di tahun 2022,” urai Ross.

Hal keempat, yakni, apakah publik melihat internet dan media sosial sebagai media yang kredibel untuk mendapatkan ifnormasi. Tren di Indonesia, banyak orang melihat media sosial tidak kredibel karena banyaknya disinformasi. Ross ingin mengetahui, apakah publik di Pemilu 2024 akan mengikuti akun-akun dan halaman resmi kandidat untuk mendapatkan informasi yang kredibel.

“Jika Anda berpikir bahwa surat kabar atau berita televisi  memberi Anda berita yang Independen, pada kenyataannya di era digital, semua ini bercampur baur. Saat ini, sebenarnya, ada kepercayaan yang lebih tinggi pada media sosial, kecuali kasus Indonesia, dan ini berpotensi menurunkan kualitas demokrasi. Tetapi, itu terjadi karena tidak ada kepercayaan pada media Independen,” jelas Ross.

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Amalia Salabi is a researcher at Perludem and electionhouse.org organizer. Amalia has an interest in women's issues, alternative politics, Islamic politics, election technology, and digital campaigns. Amalia's work can be read at Perludem.org. She loves read and watching movies.
Lihat Semua Post