Fenomena Disinformasi Pemilu Filipina dan Kesiapan Indonesia

Fenomena Disinformasi Pemilu Filipina dan Kesiapan Indonesia
Image credit: rumahpemilu.org

“Teknologi baru harus menjadi alat untuk emansipasi, bukan untuk manipulasi,” kata Wakil Presiden organisasi Values and Transparency, Vera Jourová, sebagaimana dikutip dari siaran pers Uni Eropa mengenai proposal Transparency and Targeting of Political Advertising, 25 November 2021.

Statement kuat yang mesti jadi pegangan untuk semua pihak dalam mengatur kebijakan media sosial, sebab transisi digital yang sedang berlangsung membuat penggunaan internet semakin tidak terhindarkan. Dunia digital, juga media sosial yang telah menjadi ruang publik terbesar, harus menjamin setiap orang aman dalam beraktivitas, serta memperoleh hak informasi atas konten politik berbayar dan informasi yang benar.

Tiga kata terakhir dari paragraf di atas: informasi yang benar, semakin jadi pertaruhan. Dalam teori partisipasi yang dikembangkan oleh CHOICE misalnya, informasi jadi kunci partisipasi bermakna. Informasi tak berdiri sendiri. Ia produk dari sebuah ekosistem, yaitu ekosistem informasi yang melibatkan aktor-aktor yang memproduksi informasi, kanal tempat dipublikasi dan disebarnya informasi, aktor-aktor penyebar informasi, organisasi cek fakta, serta konsumen informasi. Tak ada disinformasi tanpa aktor yang memproduksi, menyebar, dan tempat yang cocok untuk tinggal.

Pasca Pemilu Filipina 9 Mei 2022, cara pemenangan di platform-platform digital yang digunakan oleh aktor-aktor politik Filipina akan jadi pembelajaran. Betulkah disinformasi, misinformasi, dan iklan politik bertarget jadi strategi ampuh untuk menang pemilu di era disrupsi informasi?

Tren disinformasi di Pemilu Filipina

Ketika saya melakukan pemantauan pemilu di Filipina, semua aktor pemilu yang saya wawancarai, baik tim kampanye, calon anggota legislatif, penyelenggara pemilu, pemantau pemilu maupun pemilih (kecuali pemilih senior di komunitas masyarakat adat dan petani yang tinggal di pegunungan sulit akses internet), bahkan praktisi media dan akademisi mengatakan bahwa disinformation is very rampant. Facebook selalu disebut sebagai media tempat bersemayamnya berbagai disinformasi yang menyerang peserta pemilu, Commission of Election (Comelec), serta proses dan teknis pemilu.

Dalam fenomena itu, organisasi cek fakta seringkali jadi target serangan di setiap postingan debunk. Antek asing, agen CIA (lembaga intelijen Amerika Serikat), pengkhianat bangsa merupakan tiga dari beragam tuduhan dan umpatan kepada organisasi cek fakta seperti Rappler dan Vera Files. Termasuk juga, penilaian keberpihakan kepada salah satu kandidat, atau kebencian kepada salah satu kandidat. Organisasi cek fakta, seperti halnya penyelenggara pemilu, jadi korban tarik-menarik akibat polarisasi di dua kubu calon presiden, meskipun Filipina punya sepuluh calon. Kompetisi delapan calon lainnya membantu meredam polarisasi pemilu Filipina sehingga tak separah polarisasi dua calon di pemilu Indonesia.

Terkait tren yang bisa dianalisis dari fenomena disinformasi pemilu Filipina, Vera Files, organisasi cek fakta yang menjadi mitra Meta, menemukan tiga pola. Pertama, bahwa disinformasi menguntungkan kandidat tertentu dan merugikan kandidat tertentu. Bong Bong Marcos (BBM) menjadi aktor politik yang paling banyak diuntungkan oleh disinformasi yang beredar, sementara calon lainnya, Leni Robredo, menjadi aktor yang paling ditargetkan. 52 dari 336 disinformasi yang viral dari 1 Januari hingga 10 Desember 2021, 52 disinformasi mempromosikan BBM.

Kedua, video yang dipublikasi di Youtube banyak menjadi sumber disinformasi yang disebar ke platform media sosial lainnya. Dari 1 Januari hingga 10 Desember 2021, hampir sepertiga (89) dari 336 artikel tentang disinformasi online yang diterbitkan oleh Vera Files berkaitan dengan video YouTube. Jumlah ini signifikan naik dari 2018, 2019, dan 2020.

Ada dua channel Youtube yang paling banyak memproduksi konten disinformasi, yakni Showbiz Fanaticz dan BANAT NEWS TV. Showbiz Fanaticz adalah saluran YouTube terverifikasi sebagai channel resmi yang dibuat pada 9 November 2017. Youtube tak mencabut label verified meskipun Showbiz Fanaticz telah dilaporkan berkali-kali oleh banyak pemeriksa fakta. Platform YouTube juga memungkinkan terjadinya berbagai taktik misleading. Yang paling umum menggunakan judul palsu atau clickbait, dengan konten video yang tidak didukung oleh bukti faktual.

Celakanya, video berisi disinformasi di Youtube diamplifikasi dengan cara yang sangat terkoordinasi lewat media sosial dan platform lainnya, seperti Facebook, situs web, bahkan Tiktok. Vera Files berhasil memetakan akun-akun dan page yang mengkoordinasikan penyebaran disinformasi dari Youtube ke berbagai platform. Amplifikasi ini memberikan exposure video Youtube lebih besar. Sebagai contoh, video disinformasi putusan Mahkamah Agung terhadap petisi diskualifikasi BBM dilihat sebanyak 897 ribu kali di Facebook. Sementara video yang diposting di Youtube hanya ditonton 237 ribu kali.

Ketiga, konten satir semakin sering digunakan untuk menyebar disinformasi. Sasaran utamanya ialah pejabat pemerintah dan aktor politik. Pembuat konten satir mengolok-olok subjek mereka berdasarkan masalah atau peristiwa yang terkait dengan pejabat pemerintah atau aktor politik. Repotnya, Sebagian besar pengguna internet tak dapat membedakan antara satir dengan laporan berita atau informasi yang benar.

Bentuk-bentuk disinformasi yang beredar

Saya mengumpulkan dan menganalisis hasil pengecekan fakta Vera Files dan Rappler, dua organisasi cek fakta kredibel yang menjadi mitra resmi Meta dan atau Twitter. Rappler bahkan memiliki kerjasama pengecekan fakta khusus dengan Comelec.

Hasilnya, bentuk-bentuk disinformasi pemilu di Filipina sama persis dengan disinformasi yang beredar di Pemilu Indonesia 2019 dan Pilkada Serentak 2020. Saya menemukan bentuk-bentuk disinformasi terkait teknis dan proses pemilu, disinformasi yang menyerang anggota dan kelembagaan Comelec, dan disinformasi soal dukung-mendukung. Beberapa disinformasi berpotensi menghilangkan hak pilih atau mengandung voter suppression, juga disertai dengan narasi intimidasi. Bedanya, jika di Indonesia terdapat disinformasi dengan narasi mengintimidasi dan mempertanyakan hak pilih kelompok rentan, di Filipina, saya menemukan disinformasi yang disertai dengan narasi intimidasi terhadap peserta pemilu beraliran kiri progresif atau dikenal dengan istilah red tagging.

Saya ingin meng-highlight tiga contoh disinformasi yang berpotensi menghilangkan hak pilih di Filipina. Pertama, disinformasi yang mengarahkan pemilih untuk tidak memilih partylist karena  pilihan pada party list (di bagian belakang surat suara) akan tembus ke halaman depan sehingga akan mengganggu hasil bacaan mesin penghitung suara terhadap pilihan pemilih di pemilu presiden dan pemilu lainnya.

Comelec membantah disinformasi tersebut dengan menginformasikan bahwa lingkaran di halaman depan dan belakang surat suara tidak berhimpitan. Dan, sekalipun bayangan di satu sisi surat suara terlihat di sisi lain, hal itu tidak akan mempengaruhi bacaan mesin penghitung suara.

Ada pula disinformasi serupa yang menginformasikan kepada pemilih cara memberikan suara yang salah. Yang benar adalah menghitamkan satu bulatan penuh pada lingkaran. Namun disebar informasi dengan berbagai versi bahwa memilih yang benar adalah dengan memberi tanda silang atau hanya menghitamkan setengah lingkaran.

Beberapa pemilih juga menyampaikan kepada saya adanya rumor bahwa menghitamkan lingkaran melebihi lingkaran akan membuat surat suara tidak sah. Terkait hal ini, saya mendapatkan jawaban berbeda dari komisioner Comelec di tingkat provinsi dan petugas pemilu di kabupaten/kota. Komisioner Comelec Provinsi Albay, Atty. Calixto L. Aquino Jr. mengatakan benar bahwa menghitamkan melebihi lingkaran akan membuat surat suara tidak sah, karena hal tersebut akan dibaca oleh mesin penghitung sebagai “menandai surat suara”, salah satu yang membuat surat suara tidak sah. Namun salah satu petugas di kantor Comelec Kota Legazpi mengatakan menghitamkan melebihi lingkaran tidak akan membuat surat suara pemilih tidak sah. Tanda yang bisa membatalkan sahnya surat suara adalah tanda random di luar lingkaran surat suara, seperti menuliskan nama atau coretan pada surat suara.

Pengalaman Indonesia, perbedaan pemahaman penyelenggara pemilu terhadap suatu aturan yang ditetapkan oleh KPU memang membuat masalah disinformasi semakin rumit. Sayangnya, saya tak menemukan hasil debunk terhadap contoh disinformasi ini.

Disinformasi kedua yang ingin saya highlight adalah wajib vaksin sebagai syarat untuk memilih. Parahnya, salah satu agensi media, yakni News5 menjadi penyebar misinformasi. Reporter News5 mengatakan kepada publik bahwa di TPS, pemilih harus menunjukkan kartu vaksinasi atau membawa hasil tes RT-PCR negatif agar dapat memilih. Padahal, tak ada kewajiban seperti itu. Disinformasi ini tersebar di Facebook dan Tiktok.

Isu lain yang kerap muncul dalam disinformasi di pemilu Filipina ialah mengenai hasil penghitungan suara.

Siap-siap, Indonesia!

Banyak hal yang penting disiapkan oleh Indonesia, sebab pertarungan politik (terutama pemilu nasional) kini lebih banyak terjadi di ranah digital. Pertama, membentuk forum multipihak penanganan disinformasi yang terdiri dari KPU, Bawaslu, kementerian/Lembaga negara terkait, platform media sosial, media, organisasi cek fakta, dan masyarakat sipil. Forum ini akan jadi punggawa yang melakukan berbagai aktivitas, seperti melakukan prebunking atau pemetaan isu yang mungkin muncul dalam disinformasi, literasi pemilu, pemetaan terhadap channel-channel Youtube, akun media sosial, page, dan website yang kerap memposting konten disinformasi politik, moderasi konten, dan debunking atau pengungkapan kebohongan.

Monitoring website-website atau akun yang mendompleng nama media besar atau media yang tak terdaftar juga penting dilakukan.  Kasus Filipina, contohnya, disinformasi juga diproduksi dan disebar oleh halaman Facebook Cebu Dairy News, plesetan dari portal berita digital Cebu Daily News (CDN).

Skema multipihak penting dijalankan untuk lebih menjamin proses moderasi konten oleh platform media sosial yang lebih akuntabel dan demokratis, mendorong efektivitas pelaporan disinformasi dan misinformasi melalui kanal pelaporan satu pintu, menguatkan KPU Bawaslu dalam merespon cepat disinformasi, memungkinkan koordinasi antar platform untuk mengurangi penyebaran disinformasi lintas platform, dan memastikan informasi pemilu dan hasil debunking teramplifikasi luas ke masyarakat.

Kedua, penguatan kepada penyelenggara pemilu, media dan masyarakat sipil di tingkat lokal untuk melakukan monitoring, melaporkan disinformasi, dan merespon cepat di Pilkada. Pilkada sarat dengan konteks lokal yang akrab dipahami oleh para pemangku kepentingan di tingkat lokal.

Pelatihan identifikasi narasi disinformasi, cara melaporkan disinformasi, serta cara menggunakan tool seperti CrowdTangle dan Buzzsumo untuk menelusuri disinformasi dan memeriksa tindakan yang diambil oleh platform bisa diberikan.

Ketiga, memperkuat regulasi Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu untuk memperketat tanggungjawab platform terhadap disinformasi yang beredar di media sosial. Uni Eropa misalnya, bersama platform media sosial di Eropa, telah membuat Code of Practice on Disinformation tahun 2022 yang memperbesar peran platform dalam mengurangi penyebaran disinformasi, mendorong transparansi iklan politik, dan mengamanatkan kepada platform untuk memberikan akses data publik platform kepada peneliti.

Uni Eropa juga telah menyusun Digital Services Act untuk mendorong akuntabilitas online platform terhadap konten ilegal dan berbahaya. Undang-Undang ini memberikan perlindungan yang lebih baik kepada pengguna internet dan hak-hak dasar pengguna.

Lebih cepat dipersiapkan, akan lebih baik. Tahapan pemilu telah dimulai sejak Juni. Rusaknya pemilu akibat rekayasa informasi, jangan sampai terjadi. []

AMALIA SALABI

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Amalia Salabi is a researcher at Perludem and electionhouse.org organizer. Amalia has an interest in women's issues, alternative politics, Islamic politics, election technology, and digital campaigns. Amalia's work can be read at Perludem.org. She loves read and watching movies.
Lihat Semua Post