Pada 2022, Filipina menyelenggarakan pemilu serentak untuk kedua kalinya. Sebelumnya, Pemilu Filipina 2016 jadi pemilu serentak nasional pertama di negara-negara Asia Tenggara. Dari keserentakan pemilu yang kedua ini, Filipina masih banyak mengalami masalah, khususnya dalam hal melayani pemilih. Pemilu serentak Filipina jadi anomali, baik pada aspek sistemik maupun teknik.
Pada Hari H pemungutan suara, warga berhak pilih di Filipina yang ke TPS diberikan selembar surat suara yang dua permukaannya digunakan memilih. Permukaan pertama berisi pilihan ragam calon personal. Permukaan kedua berisi banyak pilihan partai politik.
Ragam pilihan calon personal pada surat suara pertama adalah: 1. Calon presiden, 2. Calon wakil presiden, 3. Calon senator, 4. Calon anggota perwakilan (DPR) jalur perseorangan, 5. Calon gubernur, 6. Calon wakil gubernur, 7. Anggota dewan provinsi; 8. Calon wali kota, 9. Calon wakil wali kota, 10. Calon konselor.
Permukaan kedua merupakan pemilu memilih lembaga perwakilan unsur partai politik (house of representative). Hanya ada nomor urut dan nama partai di surat ini. Tak ada lambang partai.
Tujuan pemilu serentak
Merujuk banyak studi sistem kepemiluan, pemilu serentak bertujuan menciptakan pemerintahan presidensial kongruen. Kebutuhan tujuan ini ada di negara presidensial multipartai ekstrim. Terlalu banyaknya partai dengan perolehan kursi yang relatif setara, cenderung menghasilkan dilema jalannya pemerintahan presidensial.
Dilema pemerintahan itu karena visi misi dan program pembangunan presiden terpilih yang tersandera oleh kewenangan legislasi di DPR. Pilihannya ada dua. Pertama, visi misi dan program presiden akan lancar menyertakan kolusi-koruptif bersama DPR menyertakan pembagian jatah proyek pembangunan. Kedua, presiden melawan kewenangan legislasi DPR yang berdampak pada tersendatnya realisasi visi misi dan program pembangunan presiden.
Dilema pemerintahan presidensial itu jadi sebab sistemik, tidak ada negara presidensial multipartai ekstrim yang punya nilai baik di banyak indeks kualitas negara. Negara presidensial multipartai ekstrim mengalami masalah laten korupsi atau gagalnya pembangunan.
Pemilu serentak jadi salah satu solusi menghindari dilema itu. Rekayasa sistem kepemiluan ini mengarahkan perilaku pemilih. Tujuannya agar elektabilitas presiden terpilih lebih mengoptimalkan elektabilitas partai pengusungnya. Jika surat suara pemilu presiden digabungkan dengan surat suara pemilu DPR, maka semakin banyak pemilih yang memilih partai pengusung presiden yang dipilihnya.
Anomali
Dari konsep pemilu serentak tersebut, kita akan menemukan anomali penerapan pilihan sistem politik di Filipina. Pertama, Filipina tidak punya masalah multipartai ekstrim.
Sebelum pemilu legislatif diserentakan dengan pemilu presiden, house of representative/DPR Filipina punya sistem kepartaian multipartai moderat. Hanya ada 3 sampai 5 partai kuat. Di luar partai kuat ini, hanya ada beberapa partai yang punya kursi amat sedikit sehingga tidak relevan mempengaruhi proses dan pengesahan undang-undang atau kebijakan.
Filipina terhindar dari multipartai ekstrim karena secara umum pemilu DPR-nya menerapkan sistem pemilu pluralitas. Artinya, tiap daerah pemilihan hanya ada satu alokasi kursi anggota parlemen. Dari total jumlah kursi DPR Filipina, ada 80% yang menggunakan sistem pemilu pluralitas, di tiap distrik.
Secara sistemik, sistem pluralitas mengurangi fragmentasi partai di parlemen. Jika terus dilakukan di banyak pemilu berikutnya, sistem pemilu pluralitas akan membentuk sistem kepartaian parlemen dwipartai. Ini yang terjadi di pemilu dan parlemen Amerika Serikat.
Kedua, pemilu serentak Filipina menghilangkan sistem evaluatif pemerintahan presidensial. Dengan menggabungkan seluruh jenis pemilu dalam satu hari pemungutan, berarti tidak ada jadwal pemilu di antara masa jabatan presiden yang berfungsi untuk mengevaluasi negara yang dijalankan oleh presiden dan partai politik.
Kelebihan sistem pemerintahan presidensial adalah masa jabatan presiden yang pasti. Tapi masa yang pasti ini juga menjadi kelemahan presidensial. Kalau kinerja presiden buruk harus tunggu sampai jabatannya habis. Tak bisa diturunkan, kecuali melanggar hukum.
Karena kepastian masa jabatan presiden itu, dibutuhkan jadwal pemilu di antara keterpilihan dan keberakhiran presiden. Ini biasa disebut pemilu sela. Jika tak memuaskan, presiden dan partai pengusungnya bisa dihukum di pemilu sela, dengan memilih kekuatan politik lain. Tapi jika kinerja presiden memuaskan, pemilu sela akan memperkuat presiden dan partai politik pengusungnya.
Ketiga, pemilu Filipina pun menyatukan pemilu presiden dengan pemilu lokal. Semua jabatan kepala daerah dan seluruh tingkatannya, dipilih bersama pemilu presiden. Semua parlemen daerah dan seluruh tingkatannya pun dipilih bersama pemilu presiden.
Seharusnya, jika pemilu serentak berkonsep menyatukan pemilu eksekutif dan legislatif, pemilu presiden hanya diserentakan dengan lembaga legislatif nasional. Pemilu serentak Filipina menjadi anomali karena menyatukan pemilu eksekutif nasional dengan pemilu legislatif lokal dan eksekutif lokal, sekaligus.
Padahal, jadwal pemilu serentak lokal merupakan kebutuhan bagi negara bersistem presidensial yang memilih langsung presidennya. Pemilu serentak lokal yang jadwalnya ada di antara masa jabatan presidan bisa menjadi momen koreksi bagi pemerintahan presidensial.
Pemilu serentak Filipina yang biasa disebut “syncronized elections” merupakan pilihan anomali. Penerapannya bukan memperbaiki dan memperkuat sistem presidensial tapi malah menambah masalah baru berupa kompleksitas pemilu.
Dari penyelenggaraan Pemilu Serentak 2022, antrean panjang pemilih salah satunya disebabkan oleh pemilih yang kebingungan memilih politisi dan jabatan politik yang terlalu banyak di permukaan surat suara. Di tengah kebingungan sistemik ini, politik dinasti dan uang menjadi logika kekuasaan bekerja. []
USEP HASAN SADIKIN