Kerentanan Politik Hukum Perempuan

Kerentanan Politik Hukum Perempuan
Image credit: rumahpemilu.org

PKPU 10/2023 menyadarkan bahwa perempuan sebagai identitas warga negara yang sudah dijamin dalam konstitusi dan undang-undang bisa dilemahkan melalui peraturan teknis kepemiluan. Hukum tertinggi negara ini pun ternyata kurang menguatkan posisi rentan perempuan untuk berpolitik.

Pasal 8 ayat (2) tertuang klausul baru yang menyatakan bahwa penentuan keterwakilan perempuan di dalam pencalonan itu berdasarkan pembulatan angka ke bawah. Jika klausul ini diterapkan, dari beberapa simulasi, maka jumlah perempuan yang akan ada di dalam pencalonan itu tidak akan mencapai 30 persen.

Padahal pada Pemilu 2014 dan 2019, perempuan calon legislator selalu dijamin hadir minimal 30% di setiap dapil. Apa yang sudah positif dicapai pada tataran hukum dan hasil pemilu, menjadi berkurang bahkan bisa jadi hilang.

Kerentanan politik   

Secara umum, kerentanan politik perempuan mengacu pada kondisi di mana perempuan menghadapi tantangan dan hambatan yang lebih besar dalam terlibat dan berpartisipasi secara efektif dalam arena politik. Ini terkait dengan ketidaksetaraan gender yang masih ada di banyak negara di seluruh dunia, di mana perempuan seringkali mengalami diskriminasi, stereotipe, dan penghalangan dalam mengakses, mempengaruhi, dan berperan dalam proses politik.

Sayangnya, masih banyak pihak yang meragukan adanya kerentanan politik perempuan. Padahal bentuk kerentanan politik perempuan merupakan hal nyata. Kenyataan ini ada dalam bentuk ketidaksetaraan kekerasan politik, ketidaksetaraan akses, steriotipe gender, dan kurangnya representasi.

Yang paling nyata secara fisik adalah adanya kekerasan Politik. Perempuan sering menjadi sasaran kekerasan politik, termasuk ancaman, pelecehan, atau kekerasan fisik. Ini dapat menciptakan iklim yang tidak aman bagi perempuan yang ingin terlibat dalam politik atau mencalonkan diri untuk jabatan politik. Kekerasan semacam itu juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengintimidasi dan mencoba menjauhkan perempuan dari arena politik.

Dalam kenyataan ketidaksetaraan akses, perempuan seringkali menghadapi kesulitan dalam mengakses kehidupan bernegara dibanding lelaki. Misalnya dalam mengakses pendidikan politik, sumber daya finansial, pelatihan, dan jaringan politik yang diperlukan untuk terlibat dalam politik. Ini dapat membuat perempuan kurang siap untuk terlibat dalam arena politik dan mempengaruhi keputusan politik.

Dalam kenyataan stereotipe gender, masyarakat dapat membatasi peran perempuan dalam politik. Dibanding lelaki, perempuan sering dianggap kurang mampu, kurang berpengalaman, atau kurang tegas dalam mengambil keputusan politik. Stereotipe ini dapat mengurangi dukungan terhadap perempuan dalam politik dan membuat mereka kurang dipercaya sebagai pemimpin.

Kenyataan yang berwujud hasil adalah kurangnya representasi. Perempuan seringkali kurang terwakili dalam lembaga-lembaga politik dan dalam posisi kekuasaan. Jumlah perempuan yang terpilih dalam jabatan politik, seperti parlemen atau kepala negara, biasanya lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Kurangnya representasi ini dapat mengurangi kemampuan perempuan untuk mengadvokasi kepentingan mereka dan mempengaruhi keputusan politik yang berdampak pada kehidupan mereka.

Penguatan hukum

Kesadaran kerentanan politik perempuan itu, mendorong segelintir orang dari ragam pemangku kepentingan di Indonesia menguatkan posisi perempuan dalam reformasi hukum. Seiring dinamika Reformasi menyertai proses amendemen konstitusi dan revisi banyak undang-undang, dicapai sejumlah undang-undang dan ketentuan hukum yang menguatkan posisi perempuan. Di antaranya adalah kuota gender, kuota pemilu, apresiasi anggaran, serta pendidikan dan pelatihan.  

Kuota gender nyata diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Bentuknya adalah kewajiban bagi tiap partai politik untuk menjadi badan hukum harus mempunyai perempuan minimal 30 persen dalam pengurus. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan adanya representasi perempuan yang setara dalam daftar calon legislatif partai politik.

Kuota pemilu, merupakan konsekuensi dari kuota gender dalam partai politik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum paling aktual menjamin kuota pemilu. Dalam ketentuan hukum ini, part ai politik diwajibkan memenuhi kuota minimal 30% calon perempuan dalam daftar calon anggota legislatif yang diajukan. Jika partai politik tidak memenuhi kuota tersebut, partai politik tidak bisa menjadi peserta pemilu.

Afirmasi hukum dalam bentuk anggaran pun diberlakukan. Ini bisa menjadi apresiasi yang bisa dimanfaatkan partai politik. Adanya perempuan caleg di partai politik mendorong penerimaan anggaran kuota gender dari berbagai peraturan perundang-undangan dan dari berbagai lembaga negara.

Program pendidikan dan pelatihan jadi bagian bentuk afirmasi anggaran. Dengan adanya anggaran pemerintah untuk perempuan yang wujudnya adalah pendidikan dan pelatihan bagi perempuan politik, ini akan menjadi bagian hukum yang menguatkan posisi perempuan.

Masih rentan

Dari berbagai afirmasi hukum perempuan politik itu, jumlah perempuan meningkat dalam partisipasi politik. Dalam pencalonan pemilu legislatif (DPR dan DPRD), perempuan hadir lebih dari 30 persen sebagai calon legislatif di seluruh partai politik dan di seluruh daerah pemilihan. Afirmasi ini membuahkan tren meningkat pada keterpilihan perempuan masuk parlemen. Dari Pemilu 1999 sampai 2019 secara berturut-turut menghasilkan persentase perempuan terpilih 9%, 11,1%, 17,9%, 17,3%, dan 20,9%.

Dari tren peningkatan itu, bukan berarti sudah menempatkan perempuan setara dengan laki-laki sebagai warga negara. Secara jumlah, bukan hanya masih jauh dari angka setara 50% tapi juga belum mencapai minimal 30%. Pada keadaan ini, PKPU 10/2023 malah dikeluarkan KPU.

Semua hal tersebut, menyadarkan kita bahwa, peningkatan afirmasi hukum politik perempuan menyerta peningkatan kuantitasnya, ternyata tidak otomatis mengurangi ketidakadilan politik. Politik patriarkis malah bisa menguat. Jika pada tataran konstitusi dan undang-undang pemilu tidak bisa, peraturan teknis seperti PKPU bisa diintervensi melemahkan politik perempuan.

Jika identitas warga bernama perempuan yang sudah banyak dijamin afirmasi hukum saja masih rentan, apalagi identitas warga marjinal atau minoritas lainnya?

USEP HASAN SADIKIN