Pembatasan Aktivitas di Kamboja Dikhawatirkan Meningkat Jelang Pemilu 2023

Pembatasan Aktivitas di Kamboja Dikhawatirkan Meningkat Jelang Pemilu 2023
Image credit: rumahpemilu.org

5 Juni 2022, Kamboja menyelenggarakan pemilu lokal kelima sejak 2002. Kamboja membagi pemilunya menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional untuk memilih calon anggota parlemen, sementara pemilu lokal memilih calon anggota Komune dan Dewan Sangkat. Baik pemilu nasional maupun pemilu lokal dilaksanakan setiap lima tahun. Pemilu nasional diselenggarakan sejak 1993, dengan sistem proportional representative daftar partai.

“Di pemilu nasional, kita memilih anggota parlemen, dan lalu anggota parlemen dari partai pemenang pemilu memilih perdana Menteri. Lalu untuk lokal, kami menyebutnya sub-national election. Pemilu lokal ini diselenggarakan sebagai amanat Undang-Undang Pemilu Dewan Sangkat/Komune yang disahkan tahun 2001,” jelas Direktur Eksekutif Gender and Development for Cambodia (GADC), Chandy Eng, pada diskusi “Regional Discussion on Election and Democracy” (22/6).

Chandy menyebut tercederainya hak sipil di Kamboja akibat penerapan Undang-Undang Lembaga Non Pemerintah dan peraturan terkait Covid-19. Perlunya izin kegiatan yang diadakan oleh lembaga non pemerintah, dan pembatasan mobilisasi menyebabkan berbagai kegiatan pendidikan pemilih dan pendidikan politik terganggu. Ironinya, kampanye pemilu berjalan tanpa adanya pembatasan. Partai politik bebas menyelenggarakan pertemuan akbar.

“Karena harus ada izin untuk kami menyelenggarakan kegiatan, seringkali kami tidak dapat melakukan apa-apa. Demonstrasi juga dilarang. Aturan-aturan ini sangat membatasi kami. Sementara, partai politik bebas berkampanye ke mana pun dan di mana pun. Bahkan, partai penguasa saat ini menyelenggarakan kampanye paling besar,” tandas Chandy.

Kekhawatiran Chandy dan organisasi masyarakat sipil lainnya bertambah dengan adanya Rancangan UU (RUU) Kejahatan Dunia Siber. RUU ini dinilai mengancam kebebasan berbicara di dunia maya dengan adanya peningkatan pengawasan terhadap pengguna internet, dan dimungkinkannya pelanggaran hak privasi dengan alasan keamanan nasional dan ketertiban umum. RUU ini juga mewajibkan penyedia layanan untuk menyimpan data lalu lintas internet setidaknya selama 180 hari atas permintaan pihak berwenang. Penyedia yang tidak menyimpan data atau bekerja sama dengan pihak berwenang dapat dihukum dengan denda dan hukuman penjara.

“RUU ini memuat pasal-pasal karet, karena tidak mendefinisikan apa itu keamanan nasional, juga keselamatan dan ketertiban publik. Pihak otoritas akan punya kewenangan sangat besar untuk menentukan apa suatu kasus melanggar hukum atau tidak. Ini yang kami khawatirkan jelang Pemilu Nasional 2023,” kata Chandy.

Pada diskusi ini, Chandy juga mengeluhkan kurangnya informasi mengenai kandidat di pemilu. Dengan sistem daftar partai, partai politik tak menginformasikan secara memadai calon-calon dalam daftar partai kepada pemilih. Kurangnya informasi dinilai mengganggu hak pemilih untuk dapat memilih secara bermakna.

“Bahkan saya yang bekerja di NGO (non government organization), mengenyam pendidikan tinggi, tapi tidak mengetahui siapa saja calon di setiap partai. Saya hanya tau paling banyak dua calon di partai. Ini membuat pemilih lebih fokus kepada partai daripada orang-orang yang akan mewakili mereka,” tutup Chandy. []

 

 
Avatar Author

Tentang Penulis
Amalia Salabi is a researcher at Perludem and electionhouse.org organizer. Amalia has an interest in women's issues, alternative politics, Islamic politics, election technology, and digital campaigns. Amalia's work can be read at Perludem.org. She loves read and watching movies.
Lihat Semua Post